Halaman

Minggu, 20 Mei 2018

SARAH SITTIN PEMBAHASAN PUASA



(Puasa romadon itu wajib) syarat-syarat wajibnya ada tiga, 1. Islam, 2. Balig, 3. Berakal. Anak kecil diperintah puasa ketika sudah berumur tujuh tahun bila sudah tamyiz/pintar dan kuat puasa, dia dipukul karena tidak puasa ketika sudah berumur sepuluh tahun. Dibolehkan tidak puasa bulan romadon bagi orang sakit apabila dengan puasa ia mendapati kemedaratan/kepayahan yang sangat. Dan diperbolehkan tidak puasa bagi musafir/orang yang berpergian, berpergian yang jauh, bepergian yang mubah/bukan bepergian maksiat. Syarat-syarat sahnya puasa ada empat: 1. Islam, 2. Berakal, 3. Bersih dari haid atau nifas, 4. Waktu yang menerima /diperbolehkan untuk puasa. (Fardu-fardu puasa) yaitu puasa romadon, yakni perkara yang mewajibkan puasa romadon ialah (melihat hilal/bulan tanggal satu romadon) dan ditetapkan apa yang dilihat oleh orang adil, (atau sempurnanya bulan sya'ban 30 hari) maka wajiblah puasa bulan romadon dengan salah satu dari dua perkara tersebut karena berdasarkan sabda nabi
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
Berpuasalah kamu karena melihat hilal/bulan tanggal satu romadon  dan berbukalah karena melihat hilal/bulan tanggal satu syawal, maka apabila hilal tertutup mendung atas kamu maka sempurnakanlah bilangan/hitungan bulan sya'ban 30 hari.
Kalam kiyai musonif dalam perkara yang wajib dengannya puasa romadon, ialah bagi masyarakat umum adapun terhadap orang khusus terkadang kewajibannya bukan dengan apa yang telah disebutkan diatas, seperti ijtihadnya orang yang ditawan dan sebagainya (rukun-rukun puasa ) yakni puasa romadon (ada dua) salah satunya (niat) dengan hati karena berdasarkan sabda nabi SAW: 
اِنَّمَا الاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung dengan niatnya.
(Disetiap malam) yakni dalam tiap malam, dalam sebuah nusakh: kulla lailatin; dalam tiap malam, dalam artian seseorang niat selepas terbenamnya matahari dan sebelum fajar karena berdasarkan hadits nabi SAW:
مَنْ لَا يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Barang siapa yang tidak memasukan kedalam waktu malam niat puasa sebelum fajar maka tidak ada puasa yang sah baginya. [adapun puasa sunah, boleh niat puasanya disiang hari sebelum masuk waktu dhuhur jika belum melakukan hal yang membatalkan puasa.]
Paling sedikitnya niat ialah seseorang niat esok hari dari bulan romadon
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ رَمَضَانَ
Aku niat puasa esok hari dari bulan romadon,
Paling sempurnanya niat ialah seseorang niat puasa esok hari untuk menunaikan fardu bulan romadon tahun ini
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانِ هٰذِهِ السَّنَةِ لِلَٰهِ تَعَالٰى
Aku niat puasa esok hari untuk menunaikan fardu bulan romadon tahun ini karena Allah ta'ala.
Keluar dari perkataan kiyai musonif "disetiap malam" yaitu bilamana tidak kedapatan niat disebagian malam dari malam-malam romadon maka sungguh dibeberapa hari yang malamnya tidak ada niat maka tidak sah puasa disiang harinya, jika seseorang niat dimalam awal romadon, niat puasa sebulan penuh, maka yang sah bagi orang itu ialah puasa hari pertama saja. Yang kedua dari rukun puasa ialah (menahan diri dari yang membatalkan ) disepanjang hari. Kemudian kiyai musonif menerangkan tentang batal-batalnya puasa dengan perkataannya (dari makanan) dan minuman, maka batal-lah puasa dengan sebab memakan atau meminum salah satu dari keduanya, walau sedikit. (Dan) dari (jima'/senggama) maka batal-lah puasa dengan sebab masuknya hasyafah/kepala zakar kedalam farji/lubang kemaluan baik qubul ataupun dubur (dan) dari (keluarnya mani) sperma (dari sebab mubasyaroh/bertemunya kulit laki-laki dan perempuan yang bisa membatalkan wudlu) maka batal-lah puasa karena keluarnya mani dari sebab mubasyaroh seperti saling tumpang paha laki-laki perempuan, ciuman, dan pelukan tanpa kain atau lainya yang menghalangi kedua kulit. Keluar dari perkataan kiyai musonif:dari sebab mubasyaroh, yaitu keluarnya mani bukan sebab mubasyaroh seperti sebab menghayal, melihat  dengan syahwat [kalau tidak ada kebiasaan keluarnya mani sebab keduanya, kalau ada kebiasaan keluar mani sebab keduanya maka tetap batal]. (Dan) dari keluarnya mani dari sebab (istimna'/onani ) istimna' ialah upaya untuk mengeluarkan mani selain jima', baik itu keadaanya yang diharamkan seperti mengeluarkan mani menggunakan tangan sendiri, atau keadaanya yang dihalalkan seperti mengeluarkannya menggunakan tangan istrinya atau jariyahnya/budak perempuannya. Maka batal-lah puasa dari sebab istimna, karena sungguh masuknya hasyafah kedalam farji tanpa keluar mani saja membatalkan puasa, maka keluarnya mani dengan macam syahwat itu lebh-lebih. Keluar dari yang berkaitan tentang keluarnya mani, dari apa yang telah disebutkan, yaitu keluarnya mani dengan sebab ihtilam/keluar mani saat tidur/mimpi basah, maka sesungguhnya hal itu tidak membatalkan, dan apabila seseorang menggaruk-garuk dzakarnya karena semisal gatal terus ia keluar mani, maka hal itu tidak batal. [ bila ia tahu pasti bila menggaruk-garuk akan keluar mani, maka hal itu tetap membatalkan puasa]. selanjutnya batal puasa ( dari segala benda yang masuk kedalam tubuh/perut) walapun di tubuh bukan bagian dari pencernaan yang mengolah sebagai nutrisi atau obat (dari lubang tubuh) dengan dibaca fatah fa (yang terbuka) maka batal-lah puasa dengan hal tersebut, seperti masuknya benda ke dalam telinga. kiyai musonif menjaga dengan lafad 'ain: benda/barang menjaga dari atsar: bekas/ zat yang sangat halus seperti bau dengan cara mencium, panas dan dinginnya air dengan merasakanya, sesungguhnya yang disebut itu tidak medarati/tidak membatalkan puasa. Kiyai musonif menjaga dengan lafadz jauf: dalam tubuh/ perut, menjaga dari sesuatu yang bilamana seseorang mengobati luka yang ada didaging betis atau paha atau ditusukannya kepaha tersebut sebuah besi [semisal pengobatan apupuntur] maka hal itu tidak medarati/tidak membatalkan puasa. Kiyai musonif menjaga dengan lafadz manfadzi maftuhi: rongga tubuh yang terbuka, menjaga dari sampainya celak mata [celak: bubuk hitam untuk memalit kening bulu mata atau disapukan disekeliling pelupuk mata, ket kamus. sipat B jawa] sampai ketenggorokan [atsarnya bukan 'ainnya] dan dari sampainya minyak kedalam tubuh karena terserap melalui pori-pori dan sebagainya. maka yang disebut itu tidak medarati/tidak membatalkan puasa. Sebagian dari yang membatalkan puasa ialah muntah-muntah yang disengaja, maka batal-lah puasa olehnya, walaupun orang yang muntah-muntah tersebut meyakini tidak ada muntahan yang masuk lagi keperut. Adapun muntah-muntah yang tak disengaja/yang tak tertahankan maka tidak membahayakan puasa / tidak membatalkan puasa [dengan syarat tak ada muntahan yang masuk lagi keperut]. Kemudian kiyai musonif mengikat/mengaitkan semua yang telah disebutkan yaitu yang membatal-batalkan puasa dengan perkataannya: dalam keadaan (mengetahui keharamannya, ingat bahwa sedang puasa, dengan kehendak sendiri) adapun bila seseorang makan atau minum atau jima', atau keluar mani sebab mubasyaroh atau sebab istimna, atau masuknya benda kedalam tubuh dari rongga tubuh yang terbuka, atau melakukan upaya muntah-muntah terus muntah, dalam keadaan ia bodoh akan keharaman semua itu, atau ia lupa bahwa ia sedang puasa, atau ia dipaksa terhadap itu semua, maka itu semua tidak membatalkan. Tidak membatalkan orang puasa masuknya kedalam tubuh seumpama debu jalanan debu dari mengayak tepung walaupun dapat memungkinkan untuk menghindarinya dengan menutup mulut atau dengan cara lain, karena dalam menghindarinya sangat susah, bahkan bila orang yang puasa sengaja membuka mulutnya sehingga masuklah debu itu keperutnya, maka tidak batal puasanya. Bila seseorang mengumpulkan ludahnya [didalam mulut] dan menelannya maka tidak medarati/ tidak membatalkan, [berbeda bila ludahnya sudah keluar dari bagian merahnya bibir atau ludahnya sudah tercampur dengan yang lain atau tercampur darah gusi maka dapat membatalkan]. Dimakruhkan kebangetan/keterlaluan dalam berkumur dan istimsyaq {mengisap air lewat hidung ketika wudu} bagi orang yang puasa, bila air terlanjur masuk keperut [kelepasan] dalam berkumur dan istimsyaq maka tidak batal kecuali bila kebangetan/terlalu berlebihan dalam berkumurnya, atau kelepasannya itu ketika keempat kalinya dalam melakukan berkumur padahal ia ingat sedang puasa. 

Wajib bayar kiparat terhadap laki-laki dengan sebab membatalkan puasa dihari dari bulan romadon membatalkannya dengan jima', dia berdosa dengan jima sebab puasa, tidak ada bayar kiparat terhadap perempuannya, tidak pula terhadap orang yang lupa, tidak pula terhadap orang yang membatalkannya diselain bulan romadon atau terhadap orang yang membatalkannya dengan selain jima' seperti makan, keluar mani dari mubasyaroh atau dari istimna, tidak pula terhadap orang yang menyangka malam tapi kenyataannya siang, atau menyangka matahari sudah terbenam tapi kenyataannya sebaliknya, tidak pula terhadap musafir yang berbuka dengan berzina, karena kemurahan agama. Wajib bayar kiparat terhadap laki-laki yang menjelang fajar ia sedang jima' kemudian ia melanjutkan jima'nya padahal ia tahu dengan keharamannya.

Bayar kifaratnya ialah memerdekakan budak mukmin yang tidak memiliki cacat yang dapat menghambat amal dan pekerjaannya, apabila tidak ditemukan [budak macam itu atau tidak ada uang untuk membelinya] maka puasa dua bulan berturut-turut, apabila dia tidak sanggup puasanya atau tidak dapat menahan keperluan jima' nya maka memberi makan enam puluh orang miskin. Sebagian dari sunah-sunah puasa adalah mandi junub sebelum fajar, menjaga lisan dari perkataan yang tidak ada faidahnya, menyegerakan berbuka sekiranya sudah nyata matahari telah terbenam, berbuka dengan kurma, bila tidak ada kurma maka dengan air, makan sahur dengan apa saja walaupun dengan seteguk air, mengakhirkan sahur selagi tidak berada di waktu syak [ waktu ragu ragu] menjaga nafsunya dari sahwat {meninggalkan kemauan nafsu}.

Selanjutnya Pembahasan haji klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar