Selasa, 09 Maret 2021

taqrib muza, tayammum, najasah, dan haid

Fasal Mengusap Khuf (Muza, Kaos kaki Kulit)

 فصل: والمسح على الخفين جائز في الوضوء لا في غسل فرض أو نفل، ولا في إزالة نجاسة، فلو أجنب أو دميت رجله، فأراد المسح بدلاً عن غسل الرجل لم يجز، بل لا بد من الغسل وأشعر قوله جائز أن غسل الرجلين أفضل من المسح، وإنما يجوز مسح الخفين لا أحدهما فقط، إلا أن يكون فاقد الأخرى 

diperbolehkan dalam wudhu’, tidak di dalam mandi wajib ataupun sunnah, dan tidak di dalam menghilangkan najis. Sehingga kalau ada seseorang yang junub atau kakinya berdarah, kemudian ia ingin mengusap muza sebagai ganti dari membasuh kaki, maka tidak diperkenankan, bahkan harus membasuh kakinya. Perkataan mushannif yang berbunyi, “diperbolehkan” memberi pemahaman bahwa sesungguhnya membasuh kedua kaki itu lebih utama dari pada mengusap muza. Mengusap muza itu hanya diperbolehkan jika memang mengusap keduanya tidak salah satunya saja, kecuali jika dia tidak memiliki kaki yang satunya lagi.

 (بثلاثة شرائط أن يبتدىء) أي الشخص (لبسهما بعد كمال الطهارة) فلو غسل رجلاً وألبسها خفها، ثم فعل بالأخرى كذلك، لم يكف ولو ابتدأ لبسهما بعد كمال الطهارة، ثم أحدث قبل وصول الرجل قدم الخف لم يجز المسح  (وأن يكونا) أي الخفان (ساترين لمحل غسل الفرض من القدمين) بكعبيهما فلو كانا دون الكعبين كالمداس، لم يكف المسح عليهما، والمراد بالساتر هنا الحائل لا مانع الرؤية، وأن يكون الستر من جوانب الخفين لا من أعلاهما  (وأن يكونا مما يمكن تتابع الشيء عليهما) لتردد مسافر في حوائجه من حط وترحال، ويؤخذ من كلام المصنف كونهما قويين بحيث يمنعان نفود الماء، ويشترط أيضاً طهارتهما، ولو لبس خفاً فوق خف لشدة البرد مثلاً، فإن كان الأعلى صالحاً للمسح دون الأسفل صح المسح على الأعلى، وإن كان الأسفل صالحاً للمسح دون الأعلى، فمسح الأسفل صح أو الأعلى فوصل البلل للأسفل صح إن قصد الأسفل أو قصدهما معاً، لا إن قصد الأعلى فقط، وإن لم يقصد واحداً منهما، بل قصد المسح في الجملة أجزأ في الأصح  -

[diperbolehkan]- dengan tiga syarat, yaitu seseorang mulai mengenakan kedua muza tersebut setelah dalam keadaan suci secara sempurna. Sehingga, kalau ia membasuh salah satu kakinya dan mengenakan muza pada kaki tersebut, kemudian hal yang sama dilakukan pada kaki yang satunya lagi, maka tidak mencukupi. Dan seandainya ia mulai mengenakan kedua muza setelah sempurnanya suci, namun kemudian ia hadats sebelum kakinya sampai di dasar muza, maka tidak diperkenankan untuk mengusapnya. Syarat kedua adalah kedua muza tersebut bisa menutupi bagian kedua telapak kaki yang wajib di basuh hinggah kedua mata kakinya. Sehingga, kalau kedua muza tersebut tidak sampai menutup kedua mata kaki seperti sepatu, maka tidak cukup mengusap keduanya. Yang di kehendaki dengan “satir (yang menutup)”di dalam bab ini adalah penghalang, bukan sesuatu yang mencegah penglihatan. Yang harus tertutup adalah bagian bawah dan sampingnya kedua muza, tidak arah atas keduanya. Muza tersebut harus terbuat dari sesuatu yang bisa digunakan untuk berjalan naik turun bagi seorang musafir guna memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dari ucapan mushannif di atas bisa diambil pemahaman bahwa kedua muza tersebut harus kuat, sekira bisa mencegah masuknya air. Juga disyaratkan keduanya harus suci. Dan seandainya ia memakai muza berlapis karena cuaca terlalu dingin semisal, maka, jika muza yang luar / atas layak untuk diusap tidak muza yang dalam, maka syah mengusap muza yang luar. Dan jika yang layak diusap adalah muza yang dalam, bukan yang luar, kemudian ia mengusap muza yang dalam, maka hukumnya sah. Atau ia mengusap muza yang atas, namun kemudian basah-basah air sampai ke muza yang dalam, maka hukumnya sah jika ia menyengaja untuk mengusap yang dalam atau mengusap keduanya, dan tidak sah jika ia menyengaja mengusap muza yang luar saja. Dan jika ia tidak menyengaja mengusap salah satunya, akan tetapi ia menyengaja mengusap secara umum, maka dianggap cukup  menurut pendapat al Ashah

 (ويمسح المقيم يوماً وليلة و) يمسح (المسافر ثلاثة أيام بلياليهن) المتصلة بها سواء تقدمت أو تأخرت (وابتداء المدة) تحسب (من حين يحدث) أي من انقضاء الحدث الكائن (بعد) تمام (لبس الخفين) لا من ابتداء الحدث و لا من وقت المسح، ولا من ابتداء اللبس والعاصي بالسفر والهائم يمسحان مسح مقيم، ودائم الحدث إذا أحدث بعد لبس الخف حدثاً آخر مع حدثه الدائم قبل أن يصلي به فرضاً يمسح، ويستبيح ما كان يستبيحه لو بقي طهره الذي لبس عليه خفه، وهو فرض ونوافل، فلو صلى بطهره فرضاً قبل أن تحدث مسح، واستباح نوافل فقط، 

Bagi orang yang muqim (tidak bepergian) diperkenankan mengusap selama sehari semalam. Dan bagi musafir diperkenankan mengusap selama tiga hari beserta malam-malamnya yang bersambung, baik malam-malamnya itu lebih dahulu atau belakangan. Permulaan masa tersebut terhitung sejak ia hadats, maksudnya sejak selesainya hadats yang terjadi setelah sempurna mengenakan kedua muza. Bagi orang yang melakukan maksiat dengan bepergiannya dan orang yang berkelana tanpa tujuan, maka diperkenankan mengusap seperti mengusapnya orang yang muqim -sehari semalam-. Orang yang selalu mengeluarkan hadats (daimul hadats), ketika ia mengalami hadats yang lain di samping hadatsnya yang selalu ada, setelah mengenakan muza dan sebelum melakukan sholat fardlu, maka ia diperkenankan mengusap muza dan melakukan hal-hal yang boleh ia lakukan seandainya kesucian saat mengenakan muza itu masih ada, yaitu ibadah fardlu dan beberapa ibadah sunnah. Sehingga, kalau sudah melakukan ibadah fardlu sebelum mengalami hadats, maka ia diperkenankan mengusap muza dan melakukan ibadah-ibadah sunnah saja.

 (فإن مسح) الشخص (في الحضر ثم سافر أو مسح في السفر ثم أقام) قبل مضي يوم وليلة (أتم مسح مقيم) والواجب في مسح الخف ما يطلق عليه اسم المسح إذا كان على ظاهر الخف، ولا يجزىء المسح على باطنه، ولا على عقب الخف، ولا على حرفه ولا أسفله والسنة في مسحه أن يكون خطوطاً بأن يفرج الماسح بين أصابعه ولا يضمها (ويبطل المسح) على الخفين (بثلاثة أشياء بخلعهما) أو خلع أحدهما أو انخلاعه أو خروج الخف عن صلاحية المسح كتخرقه (وانقضاء المدة) وفي بعض النسخ مدة المسح من يوم وليلة لمقيم وثلاثة أيام بلياليها لمسافر (و) بعروض (ما يوجب الغسل) كجنابة أو حيض أو نفاس للابس الخف. .  

Jika ada seseorang yang mengusap muza saat masih di rumah kemudian ia bepergian, atau mengusap saat bepergian kemudian ia muqim sebelum melewati sehari semalam, maka dia diperkenankan menyempurnakan masa mengusap bagi orang yang muqim -sehari semalam. Yang wajib saat mengusap muza adalah melakukan sesuatu yang sudah layak disebut mengusap, jika memang dilakukan di bagian luar muza. Tidak mencukupi mengusap bagian dalam, tungkak muza, tepi dan bagian bawahnya. Yang sunnah di dalam mengusap adalah mengusap dengan posisi menggaris, dengan artian orang yang mengusap muza tersebut merenggangkan jari-jarinya, tidak merapatkannya. Mengusap dua muza hukumnya batal sebab tiga perkara, yaitu melepas keduanya, melepas salah satunya, terlepas sendiri atau muza sudah keluar dari kelayakan untuk diusap seperti sobek. Dan habisnya masa mengusap. Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “habisnya masa mengusap” yaitu sehari semalam bagi orang muqim, dan tiga hari tiga malam bagi orang musafir. Dan sebab terjadinya sesuatu yang mewajibkan mandi seperti jinabah, haidl, atau nifas pada orang yang mengenakan muza. 

Fashl fit-Tayammum

(فصل): في التيمم. وفي بعض نسخ المتن تقديم هذا الفصل على الذي قبله، والتيمم لغة القصد وشرعاً إيصال تراب طهور للوجه واليدين بدلاً عن وضوء أو غسل، أو غسل عضو بشرائط مخصوصة (وشرائط التيمم خمسة أشياء) وفي بعض نسخ المتن خمس خصال: أحدها (وجود العذر بسفر أو مرض. و) الثاني (دخول وقت الصلاة) فلا يصح التيمم لها قبل دخول وقتها، (و) الثالث (طلب الماء) بعد دخول الوقت بنفسه أو بمن أذن له في طلبه، فيطلب الماء من رحله ورفقته فإن كان منفرداً نظر حواليه من الجهات الأربع إن كان بمستو من الأرض، فإن كان فيها ارتفاع وانخفاض تردد قدر نظره 

Fasal tentang Tayamum Dalam sebagian redaksi matan, mendahulukan fasal ini dari pada fasal sebelumnya. Tayammum secara bahasa bermakna menyengaja. Dan secara syara’ adalah mendatangkan debu suci mensucikan pada wajah dan kedua tangan sebagai pengganti dari wudlu’, mandi atau membasuh anggota dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tayammum ada lima perkara. Dalam sebagian redaksi matan menggunakan bahasa “khamsu khishalin (lima hal)”. Salah satunya adalah ada udzur sebab bepergian atau sakit. Yang kedua adalah masuk waktu sholat. Maka tidak sah tayammun untuk sholat yang dilakukan sebelum masuk waktunya. Yang ketiga adalah mencari air setelah masuknya waktu sholat, baik diri sendiri atau orang lain yang telah ia beri izin. Maka ia harus mencari air di tempatnya dan teman-temannya. Jika ia sendirian, maka cukup melihat ke kanan kirinya dari ke empat arah, jika ia berada di dataran yang rata. Jika ia berada di tempat yang naik turun, maka harus berkeliling ke tempat yang terjangkau oleh pandangan matanya.

 و) الرابع (تعذر استعماله) أي الماء بأن يخا  من استعمال الماء على ذهاب نفس أو منفعة عضو، ويدخل في العذر ما لو كان بقربه ماء وخاف لو قصده على نفسه من سبع أو عدو، أو على ماله من سارق أو غاصب، ويوجد في بعض نسخ المتن في هذا الشرط زيادة بعد تعذر استعماله وهي (وإعوازه بعد الطلب و) الخامس (التراب الطاهر) أي الطهور غير المندى، ويصدق الطاهر بالمغصوب وتراب مقبرة لم تنبش، ويوجد في بعض النسخ زيادة في هذا الشرط وهي (له غبار فإن خالطه جص أو رمل لم يجز) وهذا موافق لما قاله النووي في شرح المهذب والتصحيح، لكنه في الروضة والفتاوى جوز ذلك. ويصح التيمم أيضاً برمل فيه غبار، وخرج بقول المصنف التراب غيره كنورة وسحاقة خزف، وخرج بالطاهر النجس، وأما التراب المستعمل فلا يصح التيمم به، 

Dan yang ke empat adalah sulit menggunakan air. Dengan gambaran jika menggunakan air, ia khawatir akan kehilangan nyawa atau fungsi anggota badan. Termasuk udzur adalah seandainya di dekatnya ada air, namun jika mengambilnya, ia khawatir pada dirinya dari binatang buas atau musuh, atau khawatir hartanya akan diambil oleh pencuri atau orang yang ghasab. Di dalam sebagian redaksi matan, tepat di dalam syarat ini, di temukan tambahan setelah syarat sulit menggunakan air, yaitu membutuhkan air setelah berhasil mendapatkannya. Yang kelima adalah debu suci, maksudnya debu suci mensucikan dan tidak basah. Debu suci mencakup debu hasil ghasab dan debu kuburan yang tidak digali. Di dalam sebagian redaksi matan, ditemukan tambahan di dalam syarat ini, yaitu debu yang memiliki ghubar. Sehingga, jika debu tersebut tercampur oleh gamping atau pasir, maka tidak diperbolehkan. Dan ini sesuai dengan pendapat imam an Nawawi di dalam kitab Syarh Muhadzdzab dan at Tashhih. Akan tetapi di dalam kitab ar Raudlah dan al Fatawa, beliau memperbolehkan hal itu. Dan juga sah melakukan tayammum dengan pasir yang ada ghubar-nya. Dengan ungkapan mushannif “debu”, mengecualikan selain debu seperti gamping dan remukan genteng. Dikecualikan dengan debu yang suci yaitu debu najis. Adapun debu musta’mal, maka tidak syah digunakan tayammum.

 وفرائضه أربعة أشياء) أحدها (النية) وفي بعض النسخ أربع خصال نية الفرض، فإن نوى المتيمم الفرض أو النفل استباحهما، أو الفرض فقط استباح معه النفل، وصلاة الجنازة أيضاً أو النفل فقط لم يستبح معه الفرض، وكذا لو نوى الصلاة ويجب قرن نية التيمم بنقل التراب للوجه واليدين، واستدامة هذه النية إلى مسح شيء من الوجه. ولو أحدث بعد نقل التراب، لم يمسح بذلك التراب بل ينقل غيره (و) الثاني والثالث (مسح الوجه ومسح اليدين مع المرفقين) وفي بعض نسخ المتن إلى المرفقين، ويكون مسحهما بضربتين، ولو وضع يده على تراب ناعم، فعلق بها تراب من غير ضرب كفى (و) الرابع (الترتيب) فيجب تقديم مسح الوجه على مسح اليدين سواء تيمم عن حدث أصغر أو أكبر، ولو ترك الترتيب لم يصح، وأما أخذ التراب للوجه واليدين فلا يشترط فيه ترتيب، فلو ضرب بيديه دفعة على تراب، ومسح بيمينه وجهه وبيساره يمينه جاز (وسننه) أي التيمم (ثلاثة أشياء) وفي بعض نسخ المتن ثلاث خصال (التسمية وتقديم اليمنى) من اليدين (على اليسرى) منهما وتقديم أعلى الوجه على أسفله (والموالاة) وسبق معناها في الوضوء وبقي للتيمم سنن أخرى مذكورة في المطولات منها نزع المتيمم خاتمه في الضربة الأولى، أما الثانية فيجب نزع الخاتم فيها 

Fardhunya tayammum ada empat perkara. Salah satunya adalah niat. Dalam sebagian redaksi matan, menggunakan bahasa “empat pekerjaan, yaitu niat fardlu”. Jika orang yang melakukan tayammum niat fardlu dan sunnah, maka dia diperkenankan melakukan keduanya. Atau niat fardlu saja, maka di samping fardlu tersebut, ia juga diperkenankan melakukan ibadah sunnah dan sholat jenazah. Atau niat sunnah saja, maka ia tidak diperkenankan melakukan fardlu besertaan dengan ibadah sunnah, begitu juga seandainya ia niat sholat saja. Dan wajib membarengkan niat tayammum dengan memindah debu pada wajah dan kedua tangan, dan melanggengkan niat hinggah mengusap sebagian wajah. Seandainya dia hadats setelah memindah debu, maka tidak diperkenankan mengusap dengan debu tersebut, akan tetapi harus memindah / mengambil debu yang lain. Rukun yang kedua dan ketiga adalah mengusap wajah dan mengusap kedua tangan beserta kedua siku. Dalam sebagian redaksi matan menggunakan bahasa “hingga kedua siku”. Mengusap kedua bagian ini (wajah & kedua tangan) dengan dua pukulan pada debu. Seandainya ia meletakkan tangannya ke debu yang lembut kemudian ada debu yang menempel pada tangannya tanpa memukulkan tangan, maka sudah dianggap cukup. Rukun yang ke empat adalah tertib. Maka wajib mendahulukan mengusap wajah sebelum mengusap kedua tangan, baik tayammum untuk hadats kecil ataupun hadats besar. Dan seandainya ia meninggalkan tertib, maka tayammumnya tidak sah. Adapun mengambil debu untuk mengusap wajah dan kedua tangan, maka tidak disyaratkan harus tertib. Dan seandainya ia memukulkan tangan satu kali ke debu dan mengusap wajahnya dengan tangan kanan, dan mengusap tangan kanannya dengan tangan kirinya, maka hal itu diperkenankan. Kesunahan tayammum ada tiga perkara. Dalam sebagian redaksi matan, menggunkan bahasa “tiga khishal”. Yaitu membaca basmalah, mendahulukan bagian kanan dari kedua tangan sebelum bagian kiri dari keduanya, dan mendahulukan wajah bagian atas sebelum wajah bagian bawah. Dan muwalah (bersegera). Maknanya telah dijelaskan di dalam bab “wudlu’”. Masih ada beberapa kesunahan-kesunahan tayammum yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya. Di antaranya adalah orang yang tayammum sunnah melepas cincinnya saat memukul debu pertama. Sedangkan untuk pukulan yang kedua, maka wajib melepas cincin.

 والذي يبطل التيمم ثلاثة أشياء) أحدها كل (ما أبطل الوضوء) (وسبق بيانه في أسباب) الحدث فمتى كان متيمماً ثم أحدث بطل تيممه (و) الثاني (رؤية الماء) وفي بعض نسخ المتن وجود الماء (في غير وقت الصلاة) فمن تيمم لفقد الماء ثم رأى الماء أو توهمه قبل دخوله في الصلاة بطل تيممه، فإن رآه بعد دخوله فيها، وكانت الصلاة مما لا يسقط فرضها بالتيمم كصلاة مقيم، بطلت في الحال، أو مما يسقط فرضها بالتيمم كصلاة مسافر، فلا تبطل فرضاً كانت الصلاة أو نفلاً، وإن كان تيمم الشخص لمرض، ونحوه ثم رأى الماء، فلا أثر لرؤيته بل تيممه باق بحاله. (و) الثالث (الردة) وهي قطع الإسلام 

Hal-hal yang membatalkan tayammum ada tiga perkara. Salah satunya adalah setiap perkara yang membatalkan wudlu’. Dan telah dijelaskan di dalam bab “Sebab-Sebab Hadats”. Sehingga, ketika seseorang dalam keadaan bertayammum kemudian hadats, maka tayammumnya batal. Yang ke dua adalah melihat air di selain waktu sholat. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “wujudnya air”. Sehingga, barang siapa melakukan tayammum karena tidak ada air kemudian ia melihat atau menyangka ada air sebelum melakukan sholat, maka tayammumnya batal. Sehingga, jika ia melihat air saat melakukan sholat, dan sholat yang dilakukan termasuk sholat yang tidak gugur kewajibannya dengan tayammum -tetap wajib qadla’- seperti sholatnya orang muqim, maka seketika itu sholatnya batal. Atau termasuk sholat yang sudah gugur kewajibannya dengan tayammum seperti sholatnya seorang musafir, maka sholatnya tidak batal, baik sholat fardlu ataupun sunnah. Jika seseorang melakukan tayammum karena sakit atau sesamanya, kemudian ia melihat air, maka melihat air tidaklah berpengaruh apa-apa, bahkan tayammumnya tetap sah. Yang ketiga adalah murtad. Murtad adalah memutus Islam,

وإذا امتنع شرعاً استعمال الماء في عضو، فإن لم يكن عليه ساتر وجب عليه التيمم وغسل الصحيح، ولا ترتيب بينهما للجنب، أما المحدث فإنما يتيمم وقت دخول غسل العضو العليل، فإن كان على العضو ساتر فحكمه مذكور في قول المصنف. (وصاحب الجبائر) جمع جبيرة بفتح الجيم وهي أخشاب أو قصب تسوى وتشد على موضع الكسر ليلتحم (يمسح عليها) بالماء إن لم يمكنه نزعها لخوف ضرر مما سبق (ويتيمم) صاحب الجبائر في وجهه ويديه كما سبق (ويصلي ولا إعادة عليه إن كان وضعها) أي الجبائر (على طهر) وكانت في غير أعضاء التيمم وإلا أعادوا هذا ما قاله النووي في الروضة. لكنه قال في المجموع: إن إطلاق الجمهور يقتضي عدم الفرق، أي بين أعضاء التيمم وغيرها، ويشترط في الجبيرة أن لا تأخذ من الصحيح إلا ما لا بد منه للاستمساك واللصوق والعصابة، والمرهم ونحوها على الجرح كالجبيرة 

Shahibul Jaba’ir (Orang yang Memakai Perban) 

Ketika secara syara’ tercegah untuk menggunakan air pada anggota badan, maka jika pada anggota tersebut tidak terdapat penutup, maka bagi dia wajib melakukan tayammum dan membasuh anggota yang sehat, dan tidak ada kewajiban tertib antara keduanya (tayammum & membasuh yang sehat) bagi orang yang junub. Adapun orang yang hadats kecil, maka dia boleh melakukan tayammum ketika sudah waktunya membasuh anggota yang sakit. Jika ada penghalang (satir) pada anggota yang sakit, maka hukumnya dijelaskan di dalam perkataan mushannif di bawah ini. Orang yang memakai jaba’ir (perban), jaba’ir adalah bentuk kalimat jama’nya lafad jabirah, yaitu kayu atau bambu yang dipasang dan diikatkan pada anggota yang luka / retak agar supaya bersatu kembali / sembuh, maka ia wajib mengusap perbannya dengan air jika tidak memungkinkan untuk melepasnya karena khawatir terjadi bahaya yang telah dijelaskan di depan. Dan orang yang memakai perban harus melakukan tayammum di wajah dan kedua tangan seperti yang telah dijelaskan. Ia harus melakukan sholat dan tidak wajib mengulangi -ketika sudah sembuh-, jika ia memasang perbannya dalam keadaan suci dan diletakkan pada selain aggota tayammum. Jika tidak demikian, maka ia wajib mengulangi sholatnya -ketika sudah sembuh-. Dan ini adalah pendapat yang disampaikan imam an Nawawi di dalam kitab ar Raudlah. Akan tetapi di dalam kitab al Majmu’, beliau berpendapat bahwa sesungguhnya kemutlakan yang disampaikan jumhur (mayoritas ulama’) menetapkan bahwa tidak ada perbedaan, maksudnya antara posisi perban yang berada pada anggota tayammum dan selainnya. Perban disyaratkan harus tidak menutup anggota yang sehat kecuali anggota sehat yang memang harus tertutup guna memperkuat perban tersebut. Lushuq[Sesuatu yang ditempelkan pada luka baik berupa kain, kapas atau sesamanya. ], ishabah[ Sesuatu yang diikatkan pada luka baik berupa tali atau sesamanya.], murham[Obat yang ditaburkan ke luka. ] dan sesamanya yang terdapat pada luka hukumnya sama dengan jabirah.

 (ويتيمم لكل فريضة) أو منذورة فلا يجمع بين صلاتي فرض بتيمم واحد، ولا بين طوافين ولا بين صلاة وطواف، ولا بين جمعة وخطبتها، وللمرأة إذا تيممت لتميكن الحليل أن تفعله مراراً وتجمع بينه وبين الصلاة بذلك التيمم وقوله (ويصلي بتيمم واحد ما شاء من النوافل) ساقط من بعض النسخ.  

Sesorang harus melakukan tayammum setiap hendak melakukan satu ibadah fardlu dan ibadah nadzar.Sehingga ia tidak diperkenankan melakukan dua sholat fardlu, dua thowaf, sholat dan thowaf, sholat Jum’at dan khutbahnya hanya dengan satu kali tayammum. Ketika seorang wanita melakukan tayammum guna melayani sang suami, maka bagi dia diperkenankan melakukan pelayanan berulang kali dan melakukan sholat dengan tayammum tersebut. Perkataan mushannif “ dengan satu tayammum, seseorang diperkenankan melakukan ibadah-ibadah sunnah yang ia kehendaki” tidak tercantum di dalam sebagian redaksi matan.


Fashl fi Bayan An-Najasat wa Izalatiha


(فصل): في بيان النجاسات وإزالتها. وهذا الفصل مذكور في بعض النسخ قبيل كتاب الصلاة، والنجاسة لغة الشيء المستقذر. وشرعاً كل عين حرم تناولها على الإطلاق حالة الاختيار مع سهولة التمييز لا لحرمتها ولا لاستقذارها، ولا لضررها في بدن أو عقل، ودخل في الإطلاق قليل النجاسة وكثيرها، وخرج بالاختيار الضرورة، فإنها تبيح تناول النجاسة، وبسهولة التمييز أكل الدود الميت في جبن أو فاكهة، ونحو ذلك وخرج بقوله لا لحرمتها ميتة الآدمي، وبعدم الاستقذار المني ونحوه، وبنفي الضرر الحجز والنبات المضر ببدن أو عقل.


Fasal) menjelaskan najis dan menghilangkannya. Di dalam sebagian redaksi, fasal ini disebutkan sebelum “Kitab Sholat”.
Najis secara bahasa adalah sesuatu yang dianggap menjijikkan. Dan secara syara’ adalah setiap benda yang haram digunakan secara mutlak dalam keadaan normal beserta mudah untuk dibedakan, bukan karena kemuliannya, menjijikkannya dan bukan karena berbahaya pada badan atau akal.
Bahasa “mutlak” mencakup najis sedikit dan banyak. Dengan bahasa “dalam keadaan normal” mengecualikan keadaan darurat. Karena sesungguhnya keadaan darurat memperbolehkan untuk menggunakan najis. Dengan bahasa “mudah dipisahkan” mengecualikan memakan ulat yang mati di dalam keju, buah dan sesamanya. Dengan ungkapan mushannif “bukan karena kemuliannya” mengecualikan mayatnya anak Adam. Dengan keterangan “tidak karena menjijikkan” mengecualikan sperma dan sesamanya. Dengan bahasa “tidak karena membahayakan” mengecualikan batu dan tanaman yang berbahaya pada badan atau akal. Maksudnya, semua barang-barang yang dikecualikan tersebut adalah barang-barang yang haram digunakan bukan karena najis tapi karena hal-hal yang telah disebutkan

 ثم ذكر المصنف ضابطاً للنجس الخارج من القبل والدبر بقوله (وكل مائع خرج من السبيلين نجس) هو صادق بالخارج المعتاد كالبول والغائط، وبالنادر كالدم والقيح. (إلا المني) من آدمي أو حيوان غير كلب وخنزير، وما تولد منهما أو من أحدهما مع حيوان طاهر، وخرج بمائع الدود، وكل متصلب لا تحيله المعدة، فليس بنجس بل يطهر بالغسل، وفي بعض النسخ، وكل ما يخرج بلفظ المضارع وإسقاط مائع (وغسل جميع الأبوال والأرواث) ولو كانا من مأكول اللحم (واجب) وكيفية غسل النجاسة إن كانت مشاهدة بالعين، وهي المسماة بالعينية تكون بزوال عينها، ومحاولة زوال أوصافها من طعم أو لون أو ريح، فإن بقي طعم النجاسة ضر أو لون أو ريح، عسر زواله لم يضر، وإن كانت النجاسة غير مشاهدة، وهي المسماة بالحكمية فيكفي جري الماء على المتنجس بها، ولو مرة واحدة 

Kemudian mushannif menyebutkan batasan najis yang keluar dari qubul (jalur depan) dan dubur (jalur belakang) dengan perkataan beliau, Setiap benda cair yang keluar dari dua jalan hukumnya adalah najis. Hal ini mencakup benda yang biasa keluar seperti kencing dan tanji, dan benda yang jarang keluar seperti darah dan nanah. Kecuali sperma dari anak Adam atau binatang selain anjing, babi dan peranakan keduanya atau salah satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci. Dengan bahasa “benda cair”, mengecualikan ulat dan setiap benda padat yang tidak diproses oleh lambung, maka hukumnya tidak najis, akan tetapi terkena najis yang bisa suci dengan dibasuh. Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “setiap perkara yang akan keluar” dengan menggunakan lafadz fi’il mudlari’ dan membuang lafadz “ma’i’ (benda cair). 
Membasuh semua jenis air kencing dan kotoran walaupun keduanya dari binatang yang halal dimakan dagingnya, hukumnya adalah wajib. Cara membasuh najis jika terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis ainiyah” adalah dengan menghilangkan bendanya dan menghilangkan sifat-sifatnya, baik rasa, warna, atau baunya. Jika rasanya najis masih ada, maka berbahaya. Atau yang masih tersisa adalah warna atau bau yang sulit dihilangkan, maka tidak masalah. Jika najisnya tidak terlihat oleh mata dan ini disebut dengan “najis hukmiyah”, maka cukup dengan mengalirnya air pada tempat yang terkena najis tersebut, walaupun hanya satu kali aliran

ثم استثنى المصنف من الأبوال قوله (إلا بول الصبي الذي لم يأكل الطعام) أي لم يتناول مأكولاً ولا مشروباً على جهة التغذي (فإنه) أي بول الصبي (يطهر برش الماء عليه) ولا يشترط في الرش سيلان الماء، فإن أكل الصبي الطعام على جهة التغذي غسل بوله قطعاً، وخرج بالصبي الصبية والخنثى فيغسل من بولهما، ويشترط في غسل المتنجس ورود الماء عليه إن كان قليلاً، فإن عكس لم يطهر أما الكثير فلا فرق بين كون المتنجس وارداً أو موروداً 

Kemudian dengan bahasa “jenisnya air kencing”, mushannif mengecualikan perkataan beliau yang berbunyi, “kecuali air kencingnya anak kecil laki-laki yang belum pernah memakan makanan, maksudnya belum pernah mengkonsumsi makanan dan minuman untuk penguat badan. Maka sesungguhnya air kencing anak laki-laki tersebut sudah bisa suci dengan hanya memercikkan air padanya. Dalam memercikkan air, tidak disyaratkan harus sampai mengalir. Jika anak kecil laki-laki tersebut telah mengkonsumsi makanan untuk penguat badan, maka air kencingnya harus dibasuh secara pasti. Dengan bahasa “anak laki-laki”, mengecualikan anak kecil perempuan dan huntsa, maka air kencing keduanya harus dibasuh. Di dalam membasuh barang yang terkena najis, disyaratkan airnya yang didatangkan/dialirkan pada barang tersebut jika airnya sedikit. Jika dibalik, maka barang tersebut tidak suci. Sedangkan jika air yang banyak, maka tidak ada bedanya antara barang yang terkena najis yang datang atau didatangi air

(ولا يعفى عن شيء من النجاسات إلا اليسير من الدم والقيح) فيعفى عنهما في ثوب أو بدن، وتصح الصلاة معهما (و) إلا (ما) أي شيء (لا نفس له سائلة) كذباب ونمل (إذا وقع في الإناء ومات فيه فإنه لا ينجسه) وفي بعض النسخ إذا مات في الإناء وأفهم قوله وقع، أي بنفسه أنه لو طرح ما لا نفس له سائلة في المائع ضر، وهو ما جزم به الرافعي في الشرح الصغير، ولم يتعرض لهذه المسألة في الكبير، وإذا كثرت ميتة ما لا نفس له سائلة، وغيرت ما وقعت فيه نجسته، وإذا نشأت هذه الميتة من المائع كدود خل وفاكهة، لم تنجسه قطعاً ويستثنى مع ما ذكر هنا مسائل مذكورة في المبسوطات سبق بعضها في كتاب الطهارة.

Tidak ada najis yang dima’fu kecuali darah dan nanah yang sedikit. Maka keduanya dima’fu di pakaian dan badan, dan sholat yang dilakukan tetap sah walaupun membawa keduanya. Dan kecuali bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat dan semut, ketika binatang tersebut masuk ke dalam wadah air dan mati di sana. Maka sesungguhnya bangkai binatang tersebut tidak menajiskan wadah air yang dimasukinya. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “ketika mati di dalam wadah”. Perkataan mushannif “terjatuh sendiri”, memberi pemahaman bahwa sesungguhnya seandainya bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu dimasukkan ke dalam benda cair, maka berbahaya (menajiskan). Imam ar Rafi’i mantap dengan pendapat ini di dalam kitab asy Syarh ash Shaghir, namun beliau tidak menyinggung masalah ini di dalam kitab asy Syarh al Kabir. Ketika bangkai binatang yang tidak memiliki darah mengalir itu berjumlah banyak dan merubah sifat cairan yang dimasukinya, maka bangkai itu menajiskan benda cair tersebut. Ketika bangkai ini muncul dari benda cair seperti ulatnya cukak dan buah-buahan, maka tidak menajiskan cairan tersebut secara pasti. Di samping apa yang telah dijelaskan oleh mushannif, masih ada beberapa permasalahan yang dikecualikan yang disebutkan di dalam kitab-kitab yang diperluas keterangannya, sebagiannya telah dijelaskan di dalam “Kitab Thaharah”.

(والحيوان كله طاهر إلا الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما) مع حيوان طاهر وعبارته تصدق بطهارة الدود المتولد من النجاسة وهو كذلك (والميتة كلها نجسة إلا السمك والجراد والآدمي) وفي بعض النسخ وابن آدم أي ميتة كل منها فإنها طاهرة (ويغسل الإناء من ولوغ الكلب والخنزير سبع مرات) بماء طهور (إحداهن) مصحوبة (بالتراب) الطهور يعم المحل المتنجس، فإن كان المتنجس بما ذكر في ماء جار كدر كفي مرور سبع جريات عليه بلا تعفير، وإذا لم تزل عين النجاسة الكلبية إلا بست مثلاً، حسبت كلها غسلة واحدة، والأرض الترابية لا يجب التراب فيها على الأصح 

Semua binatang hukumnya suci kecuali anjing, babi, dan peranakan keduanya atau salah satunya hasil perkawinan dengan binatang yang suci. Ungkapan mushannif ini mencakup terhadap sucinya ulat yang muncul dari najis, dan memang demikinlah hukumnya. Bangkai, semuanya hukumnya adalah najis kecuali bangkai ikan, belalang dan anak Adam. Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “ibn Adam”, maksudnya bangkai masing-masing barang di atas, maka sesungguhnya hukumnya suci. Wadah yang terkena liur anjing atau babi, maka harus dibasuh tujuh kali dengan menggunakan air suci mensucikan, salah satu basuhan dicampur dengan debu suci mensucikan yang merata ke seluruh tempat yang terkena najis. Jika barang yang terkena najis tersebut dibasuh dengan air mengalir yang keruh, maka cukup mengalirnya air tersebut tujuh kali tanpa harus dicampur dengan debu. Ketika benda najis anjing tersebut belum hilang kecuali dengan enam basuhan semisal, maka seluruh basuhan dianggap satu kali basuhan. Tanah yang berdebu -yang terkena najis ini- tidak wajib diberi debu -saat membasuhnya- menurut qaul al ashah

(ويغسل من سائر) أي باقي (النجاسات مرة واحدة) وفي بعض النسخ مرة (تأتي عليه والثلاث) وفي بعض النسخ والثلاثة بالتاء (أفضل) واعلم أن غسالة النجاسة بعد طهارة المحل المغسول طاهرة إن انفصلت غير متغيرة، ولم يزد وزنها بعد انفصالها عما كان بعد اعتبار مقدار ما يتشربه المغسول من الماء هذا إذا لم يبلغ قلتين، فإن بلغهما فالشرط عدم التغير.

Untuk najis-najis yang lain, maka cukup dibasuh satu kali yang di alirkan pada najis tersebut. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “marratan (sekali)”. Tiga kali (ats tsalatsu) basuhan adalah lebih utama. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “ats tsalatsatu” dengan menggunakan ta’ diakhirnya. Ketahuilah sesungguhnya air basuhan najis setelah sucinya tempat yang dibasuh, hukumnya adalah suci, jika air tersebut terpisah dari tempat yang dibasuh dalam keadaan tidak berubah dan tidak bertambah ukurannya dari kadar ukuran sebelumnya besertaan menghitung kadar air yang diserap oleh tempat yang dibasuh. Hal ini jika air basuhan tersebut tidak mencapai dua qullah. Jika mencapai dua qullah, maka syaratnya adalah tidak berubah.

 ولما فرغ المصنف مما يطهر بالغسل شرع فيما يطهر بالاستحالة، وهي انقلاب الشيء من صفة إلى صفة أخرى فقال (وإذا تخللت الخمرة) وهي المتخذة من ماء العنب محترمة كانت الخمرة أم لا ومعنى تخللت صارت خلاً وكانت صيرورتها خلاً (بنفسها طهرت) وكذا لو تخللت بنقلها من شمس إلى ظل وعكسه (وإن) لم تتخلل الخمرة بنفسها بل (خللت بطرح شيء فيها لم تطهر) وإذا طهرت الخمرة طهر دنها تبعاً لها. 

Setelah mushannif (penulis) selesai menjelaskan najis yang bisa suci dengan dibasuh, maka beliau berlanjut menjelaskan najis yang suci dengan istihalah, yaitu perubahan sesuatu dari satu sifat ke sifat yang lain. Beliau berkata, Ketika khamer telah menjadi cuka dengan sendirinya, maka hukumnya suci. Khamer adalah minuman yang terbuat dari air perasan anggur. Baik khamar tersebut dimuliakan ataupun tidak. Makna takhallalat adalah khamar menjadi cuka. Begitu juga hukumnya suci, seandainya ada khamer yang berubah menjadi cuka sebab dipindah dari tempat yang terkena matahari ke tempat yang teduh dan sebaliknya. Jika khamer berubah menjadi cuka tidak dengan sendirinya, bahkan menjadi cuka dengan memasukkan sesuatu ke dalamnya, maka khamer tersebut tidak suci. Ketika khamer menjadi suci, maka wadahnya pun menjadi suci karena mengikut pada khamernya.

Pasal Haid, Nifas dan Istihadoh

(فصل): في الحيض والنفاس والاستحاضة (ويخرج من الفرج ثلاثة دماء دم الحيض والنفاس والاستحاضة فالحيض هو الدم الخارج) في سن الحيض وهو تسع سنين فأكثر (من فرج المرأة على سبيل الصحة ) أي لا لعلة بل للجبلة (من غير سبب الولادة) وقوله (ولونه أسود محتدم لذاع) ليس في أكثر نسخ المتن، وفي الصحاح احتدم الدم اشتدت حمرته حتى اسود، ولذعته النار حتى أحرقته (والنفاس هو الدم الخارج عقب الولادة) فالخارج مع الولد أو قبله لا يسمى نفاساً وزيادة الياء في عقب لغة قليلة، والأكثر حذفها (والاستحاضة) أي دمها (هو الدم الخارج في غير أيام الحيض والنفاس) لا على سبيل الصحة (وأقل الحيض) زمناً (يوم وليلة) أي مقدار ذلك وهو أربعة وعشرون ساعة على الاتصال المعتاد في الحيض (وأكثره خمسة عشر يوماً) بلياليها فإن زاد عليها فهو استحاضة (وغالبه ست أو سبع) والمعتمد في ذلك الاستقراء.

Fasal) menjelaskan hukum-hukum haid, nifas dan istihadoh, Ada tiga macam darah yang keluar dari vagina perempuan, yaitu darah haidl, nifas dan istihadlah. Haidl adalah darah yang keluar dari vagina wanita pada usia haidl, yaitu usia sembilan tahun atau lebih, dalam keadaan sehat, yaitu tidak karena sakit akan tetapi pada batas kewajaran, bukan karena melahirkan. Ucapan mushannif “dan berwarna hitam, terasa panas dan menyakitkan” tidak terdapat di kebanyakan redaksi matan. Dalam kitab as Shahhah terdapat keterangan “darah sangat panas, warnanya sangat merah hinggah berwarna hitam, api membakarnya hinggah api tersebut membakarnya”. Nifas adalah darah yang keluar dari vagina perempuan setelah melahirkan. Sehingga darah yang keluar bersamaan dengan bayi atau sebelumnya, maka tidak disebut darah nifas. Penambahan huruf ya’ di dalam lafadz “’aqibin” adalah bentuk bahasa yang sedikit terlaku, sedangkan yang lebih banyak adalah membuang huruf ya’
Istihadah, darah istihadlah adalah darah yang keluar dari vagina perempuan di selain hari-hari keluarnya darah haidl dan nifas, bukan dalam keadaan sehat. Minimal masa haid adalah sehari semalam, maksudnya kadar sehari semalam, yaitu dua puluh empat jam secara bersambung yang biasa -tidak harus darah keluar dengan deras- di dalam haild. Maksimal masa haidl adalah lima belas hari lima belas malam. Jika darah keluar melebihi masa di atas, maka disebut dengan darah istihadlah. Masa keluarnya darah haidl yang sering terjadi adalah enam atau tujuh hari. Yang dibuat pegangan dalam hal ini adalah riset / penelitian. 

(وأقل النفاس لحظة) وأريد بها زمن يسير وابتداء النفاس من انفصال الولد (وأكثره ستون يوماً وغالبه أربعون يوماً) والمعتمد في ذلك الاستقراء أيضاً (وأقل الطهر) الفاصل (بين الحيضتين خمسة عشر يوماً) واحترز المصنف بقوله بين الحيضتين عن الفاصل بين حيض ونفاس إذا قلنا بالأصح أن الحامل تحيض، فإنه يجوز أن يكون دون خمسة عشر يوماً (ولا حد لأكثره) أي الطهر فقد تمكث المرأة دهرها بلا حيض، أما غالب الطهر، فيعتبر بغالب الحيض فإن كان الحيض ستاً، فالطهر أربع وعشرون يوماً، أو كان الحيض سبعاً فالطهر ثلاثة وعشرون يوماً (وأقل زمن تحيض فيه المرأة) وفي بعض النسخ الجارية (تسع سنين) قمرية فلو رأته قبل تمام التسع بزمن يضيق عن حيض وطهر، فهو حيض وإلا فلا (وأقل الحمل) زمناً (ستة أشهر) ولحظتان (وأكثره) زمناً (أربع سنين وغالبه تسعة أشهر) والمعتمد في ذلك الوجود.

Minimal masa nifas adalah lahdhah (sebentar). Yang dikehendaki dengan lahdhah adalah masa sebentar. Dan awal masa nifas terhitung sejak keluarnya seluruh badan bayi. Maksimal masa nifas adalah enam puluh hari. Dan yang lumrah adalah empat puluh hari. Yang dibuat pegangan dalam semua itu juga penelitian. Minimal masa suci yang memisahkan di antara dua haidl adalah lima belas hari. Dengan perkataannya “pemisah di antara dua haidl”, mushannif mengecualikan masa pemisah di antara haidl dan nifas, ketika kita berpendapat dengan qaul al Ashah yang mengatakan bahwa sesungguhnya wanita hamil bisa mengeluarkan darah haidl. Karena sesungguhnya masa suci yang memisahkan haidl dan nifas bisa kurang dari lima belas hari. Tidak ada batas maksimal masa suci. Karena terkadang ada seorang wanita yang seumur hidup tidak pernah mengeluarkan darah haidl. Adapun lumrahnya masa suci disesuaikan dengan lumrahnya masa haidl. Jika masa haidlnya lumrah enam hari, maka masa sucinya dua puluh empat hari. Atau masa haidlnya lumrah tujuh hari, maka masa sucinya tiga belas hari. Minimal usia seorang wanita bisa mengeluarkan darah haid adalah sembilan tahun hijriyah / qomariyah. Dalam sebagian redaksi menggunakan bahasa “al jariyah (wanita)”. Sehingga, kalau ada seorang wanita yang melihat keluar darah sebelum sempurnanya usia sembilan tahun dengan selisih masa yang tidak cukup untuk masa minimal suci dan minimal haidl (sembilan tahun kurang 16 hari kurang sedikit), maka darah tersebut adalah darah haidl. Jika tidak demikian, maka bukan darah haidl. Minimal masa hamil adalah enam bulan lebih lahdhatain (dua masa sebentar) -waktu untuk jima’ dan melahirkan-. Maksimal masa hamil adalah empat tahun. Masa hamil yang biasa terjadi adalah sembilan bulan. Yang dibuat pedoman dalam hal ini adalah kejadian nyata.

(ويحرم بالحيض) وفي بعض النسخ ويحرم على الحائض (ثمانية أشياء) أحدها (الصلاة) فرضاً أو نفلاً وكذا سجدة التلاوة والشكر (و) الثاني (الصوم) فرضاً أو نفلاً (و) الثالث (قراءة القرآن و) الرابع (مس المصحف) وهو اسم للمكتوب من كلام الله بين الدفتين (وحمله) إلا إذا خافت عليه (و) الخامس (دخول المسجد) للحائض إن خافت تلويثه (و) السادس (الطواف) فرضاً أو نفلاً (و) السابع (الوطء) ويسن لمن وطىء في إقبال الدم التصدق بدينار، ولمن وطىء في إدباره التصدق بنصف دينار (و) الثامن (الاستمتاع بما بين السرة والركبة) من المرأة فلا يحرم الاستمتاع بهما ولا بما فوقهما على المختار في شرح المهذب. ثم استطرد المصنف لذكر ما حقه أن يذكر فيما سبق في فصل موجب الغسل فقال (ويحرم على الجنب خمسة أشياء) أحدها (الصلاة) فرضاً أو نفلاً (و) الثاني (قراءة القرآن) غير منسوخ التلاوة آية كان أو حرفاً سراً أو جهراً، وخرج بالقرآن التوراة والإنجيل أما أذكار القرآن فتحل لا بقصد قرآن (و) الثالث (مس المصحف وحمله) من باب أولى (و) الرابع (الطواف) فرضاً أو نفلاً (و) الخامس (اللبث في المسجد) لجنب مسلم إلا لضرورة كمن احتلم في المسجد وتعذر خروجه منه لخوف على نفسه أو ماله، أما عبور المسجد ماراً به من غير مكث، فلا يحرم بل ولا يكره في الأصح، وتردد الجنب في المسجد بمنزلة اللبث، وخرج بالمسجد المدارس والربط،

Ada delapan perkara yang haram sebab haidl dan nifas. Dalam sebagian redaksi diungkapkan dengan bahasa “ada delapan perkara yang haram bagi wanita haidl”. Salah satunya adalah sholat fardlu atau sunnah. Begitu juga sujud tilawah dan sujud syukur. Yang kedua adalah puasa fardlu atau sunnah. yang ketiga adalah membaca Al Qur’an. Dan yang ke empat adalah memegang mushaf. Mushaf adalah nama benda yang bertuliskan firman Allah Swt di antara dua tepi. Dan haram membawa mushaf kecuali jika ia khawatir terhadapnya. Yang kelima adalah masuk masjid bagi wanita haidl jika khawatir mengotorinya. Yang ke enam adalah thowaf fardlu atau sunnah. Yang ke tujuh adalah wathi’ / bersenggama. Bagi orang yang wathi’ di waktu darah keluar deras, maka disunnahkan bersedekah satu dinar. Dan bagi orang yang wathi’ di waktu darah keluar tidak deras, maka disunnahkan bersedekah setengah dinar. Yang ke delapan adalah bersenang-senang dengan anggota wanita haidl yang berada di antara pusar dan lutut. Sehingga tidak haram bersenang-senang pada pusar dan lutut, dan pada anggota selain keduanya menurut qaul yang dipilih di dalam kitab syarh al Muhadzdab Kemudian mushannif menyertakan keterangan yang seharusnya lebih tepat dijelaskan di bab sebelumnya, yaitu fasal “hal-hal yang mewajibkan mandi”.Beliau berkata, “ada lima perkara yang haram bagi orang yang junub”. Salah satunya adalah sholat fardlu atau sunnah. Yang kedua adalah membaca Al Qur’an, maksudnya yang tidak dinusakh, baik satu ayat atau satu huruf, baik pelan-pelan ataupun keras. Dikecualikan dengan Al Qur’an, yaitu kitab Taurat dan Injil. Adapun dzikiran yang terdapat di dalam Al Qur’an, maka halal dibaca tidak dengan tujuan membaca Al Qur’an. Yang ketiga adalah menyentuh mushaf, dan terlebih membawanya. Yang ke empat adalah thowaf fardlu atau sunnah. Yang ke lima adalah berdiam diri di masjid bagi orang junub yang muslim. Kecuali karena darurat, seperti orang yang mimpi keluar sperma di dalam masjid dan dia sulit keluar dari masjid karena khawatir pada diri atau hartanya. Adapun lewat di dalam masjid tanpa berdiam diri, maka hukumnya tidak haram, bahkan tidak makruh bagi orang junub menurut pendapat al Ashah. Mondar mandir di dalam masjid yang dilakukan orang yang junub itu seperti berdiam diri di dalam masjid. Di kecualikan dengan masjid yaitu madrasah-madrasah dan pondok-pondok.

ثم استطرد المصنف أيضاً من أحكام الحدث الأكبر إلى أحكام الحدث الأصغر فقال (ويحرم على المحدث) حدثاً أصغر (ثلاثة أشياء الصلاة والطواف ومس المصحف وحمله) وكذا خريطة وصندوق فيهما مصحف ويحل حمله في أمتعة، وفي تفسير أكثر من القرآن، وفي دراهم ودنانير وخواتم نقش على كل منهما قرآن، ولا يمنع المميز المحدث من مس مصحف ولوح لدراسة 

Kemudian mushannif juga istithrad (menyertakan) dari menjelaskan hukum-hukum hadats besar pada hukum-hukum hadats kecil. Beliau berkata, haram bagi orang yang memiliki hadats untuk melakukan tiga perkara. Yaitu sholat, thowaf, memegang dan membawa mushaf. Begitu juga kantong dan peti yang di dalamnya terdapat mushaf. Hukumnya halal membawa mushaf bersamaan dengan harta benda, yang berada di dalam kitab tafsir yang jumlahnya lebih banyak dari pada Al Qur’annya, di dalam dinar, dirham, dan cincin yang berukirkan Al Qur’an. Seorang anak yang sudah tamyiz dan memiliki hadats, maka tidak dilarang menyentuh mushaf dan papan karena tujuan membaca dan belajar Al Qur’an.


Selanjutnya klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar