Rabu, 03 Juli 2019

Terjemah Alfiyah

لاَ الَّتِي لِنَفِيْ الْجِنْسِ

BAB “LAA” YANG MENIADAKAN ISIM JENIS (LAA LI NAFYIL-JINSI)

عَمَلَ إِنَّ اجْعَلْ لِلا فِي نَكِرَهْ مُفْرَدَةً جَاءتْكَ أَوْ مُكَرَّرَهْ

Jadikanlah seperti amal INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya) untuk LAA yg beramal pada isim nakirah, baik LAA itu datang kepadamu secara Mufrod (satu kali) atau secara Mukarror (berulang-ulang).

KETERANGAN BAIT KE 1:
“LAA LI NAFYIL JINSI” termasuk bagian dari huruf-huruf nawasikh yg masuk pada mubtada’-khobar dan merusak I’robnya, beramal seperti INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya). Baik diucapkan dengan satu kali (Mufrod), contoh : “LAA ROJULA” FID-DAARI. Atau diucapkan dengan berulang-ulang (Takrir), contoh: “LAA ROJULA” WA “LAA IMRO’ATA” FID-DAARI. Secara khusus berfungsi meniadakan jenis secara keseluruhan, ini membedakan dengan “LAA LI NAFYIL WAHID” yg beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya).

Syarat pengamalan “LAA LI NAFYIL JINSI” adalah :
1. isim dan khobarnya harus nakiroh.
2. tidak boleh ada fashl/pemisah antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMnya.
3. tidak boleh ada huruf jar masuk pada “LAA LI NAFYIL JINSI”.

فَانْصِبْ بِهَا مُضَافَاً أَوْ مُضَارِعَهْ وَبَعْدَ ذَاكَ الْخَبَرَ اذْكُرْ رَافِعَهْ

Nashabkanlah olehmu sebab “LAA” terhadap isimnya yg Mudhaf atau yg menyerupai Mudhaf . setelah itu sebutkanlah khobarnya dengan merofa’kannya.

وَرَكّبِ الْمُفْرَدَ فَاتِحَاً كَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ وَالْثَّانِ اجْعَلاَ

Tarkibkanlah olehmu (menjadikan satu tarkib antara LAA dan Isimnya) terhadap isimnya yg mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf) dengan menfat-hahkannya (menghukumi mabni fathah karena satu tarkib dengan LAA). Seperti: “LAA-HAULA” wa “LAA-QUWWATA”,
Dan terhadap lafazh yg kedua (dari contoh LAA yg diulang-ulang: (1) “LAA-HAULA” wa (2) “LAA-QUWWATA”) boleh kamu jadikan ia.. (lanjut ke bait 4)

مَرْفُوْعَاً أوْ مَنْصُوباً أوْ مُرَكَّباً وَإِنْ رَفَعْتَ أَوَّلاً لاَ تَنْصِبَا

..dirofa’kan atau dinashabkan atau ditarkib, jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua.

KETERANGAN BAIT 2-3-4:
Ada tiga poin yg menyangkut tentang isimnya “LAA LI NAFYIL JINSI”:
1. berupa Mudhaf (tersusun dari susunan idhafah, mudhaf dan mudahf ilaih)
2. berupa Syabihul-Mudhaf (tersusun dengan kalimah lain baik makmulnya/ta’alluqnya/ma’thufnya dll)
3. berupa Mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf, baik isim mufrod, mutsanna, atau jamak)
> Poin yg no 1 dan 2, dihukumi nashab dengan tanda nashabnya secara zhahir, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs.
> Poin yg no 3 dihukumi mabni atas tanda I’rab nashabnya, menempati mahal nashab, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs . Dihukumi mabni karena dijadikan satu tarkib antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan Isimnya.

Apabila setelah “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMNYA terdapat isim ma’thuf yg berupa isim nakirah dan mufrodah, maka hal seperti ini kadangkala LAA tidak diulang dan kadangkala penyebutan LAA diulang pada isim ma’thufnya, contoh لا حول ولا قوة إلا بالله (LAA HAWLA WA LAA QUWWATA)

Apabila terdapat ma’thuf dan LAA diulang-ulang seperti itu, maka mencakup tiga bacaan:

BACAAN KE SATU : lafazh yg pertama (ma’thuf alaih) dibaca mabni (apabila mufrodah), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 3 jalan:
1. MABNI, LAA yg kedua juga beramal spt INNA, athaf secara jumlah. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATA
2. NASHAB, Athaf kepada mahal nashab isim LAA, dan LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATAN
3. ROFA’, athaf kepada mubtada’ karena “TARKIB LAA DAN ISIMNYA” posisinya sebagai mubtada’, LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Atau LAA yg kedua beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya) yg mempunyai faidah sebagai nafi jenis. Atau lafazh yg kedua itu sendiri sebagai Mubtada’ dan LAA yg kedua tidak beramal. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATUN

BACAAN KE DUA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca nashab (apabila mudhaf atau yg menyerupai mudhaf), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) juga boleh dibaca 3 jalan sebagaimana hukum BACAAN KE SATU diatas, yaitu : MABNI, NASHAB dan ROFA’ (untuk rofa’ tidak boleh untuk alasan athaf kepada mubtada’ sebab isimnya berupa mudhaf/syabih mudhaf).

BACAAN KE TIGA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca Rofa’ (apabila LAA diamalkan seperti LAISA atau karena ada illah yg membuat LAA menjadi Muhmal), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 2 jalan: 1. MABNI, karena mufrodah. 2. ROFA’, karena athaf pada isim marfu’, atau karena menjadi mubtada dan LAA dihukumi Zaidah, atau sebagai isimnya LAA yg juga diamalkan seperti LAISA.
Untuk BACAAN KE TIGA ini tidak boleh lafazh yg kedua (ma’thuf) dibaca Nashab sebab status LAA pertama disini bukan sebagai Amil nashab, oleh karenanya dalam bait disebutkan “WA IN ROFA’TA AWWALAN LAA TANSHIBAA” (jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua).

وَمُفْرَدَاً نَعْتَاً لِمَبْنِيّ يَلِي فَافْتَحْ أَوِ انْصِبَنْ أَوِ ارْفَعْ تَعْدِلِ

Terhadap mufrod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yang na’at secara langsung (tanpa ada pemisah) pada isim LAA yg mabni maka fathahkanlah atau nashabkanlah atau rofa’kanlah demikian kamu adil.
KETERANGAN BAIT KE 5
Apabila ada Isim murfod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yg na’at pada isimnya LAA nafi jenis yg mabni, dimana na’atnya mengiringi langsung tanpa pemisah, maka boleh Na’at tsb dibaca tiga wajah:
1. MABNI FATHAH, karena dijadikan satu tarkib berikut berbarengan dengan isimnya LAA. Contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFA
2. NASHAB, karena melihat pada mahal nashab isimnya LAA, contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFAN
3. ROFA’, karena melihat pada mahal rofa tarkib LAA + ISIMnya yg menempati posisi sebagai mubtada. Contoh:
LAA+ROJULA ZHORIIFUN

وَغَيْرَ مَا يَلِي وَغَيْرَ الْمُفْرَدِ لاَ تَبْنِ وَانْصِبْهُ أَوِ الْرَّفْعَ اقْصِدِ

Na’at yg tidak mengiringi langsung (ada pemisah) dan na’at yg tidak mufrad (mudhaf/syabih mudhaf) janganlah kamu memabnikannya, tapi nashabkanlah atau kehendakilah dengan merofa’kannya.

KETERANGAN BAIT KE 6
Isim yg NA’AT pada isimnya LAA NAFI JINSI yg dimabnikan, boleh dibaca 3 wajah (MABNI, NASHAB, ROFA’) demikian ini apabila NA’AT dan ISIM LAA sama-sama mufrodah dan tidak ada pemisah (lihat bait ke 5)
Kemudian, apabila ada pemisah antara NA’AT dan ISIM LAA yg mabni, atau tidak ada pemisah tapi NA’ATnya tidak mufrodah maka boleh dibaca 2 wajah (NASHAB dan ROFA’) dan tidak boleh MABNI. Contoh:
1. LAA ROJULA FIIHAA ZHARIIFAN/ZHARIIFUN (terdapat fashl)
2. LAA ROJULA SHAAHIBA BIRRIN/SHAAHIBU BIRRIN (tdk terdapat fashl tapi na’at tidak mufrodah)

وَالْعَطْفُ إِنْ لَمْ تَتَكَرَّرْ لاَ احْكُمَا لَهُ بِمَا لِلْنَّعْتِ ذِي الْفَصْلِ انْتَمَى

Adapun ‘Athaf, jika LAA tidak diulang-ulang maka hukumilah ma’thufnya dengan hukum yg dinisbatkan pada Na’at yg Fashl (boleh nashab dan rofa’ tidak boleh mabni, lihat bait ke 6).

KETERANGAN BAIT KE 7

Pada bait dahulu dijelaskan (bait ke2-3-4) bahwa apabila setelah isim laa ada isim ma’thuf yg nakirah dan mufrodah, maka penyebutan LAA kadang diulang-ulang kadang tidak.
Nah dalam bait ke 7 ini menerangkan tentang hokum ma’thuf pada isim LAA yg mana LAA tidak diulang-ulang.:
Boleh Ma’thuf disini dihukumi dengan bacaan sebagaimana yg terjadi pada hukum isim yg Na’at pada isim LAA yg terdapat Fashl/pemisah (lihat bait ke 6) yaitu NASHAB dan ROFA, tidak boleh MABNI. Salahsatu contoh:

LAA MUDARRISA WA THOOLIBUN/THOOLIBAN FIL MADROSATI
(rofa = athaf pada mahal rofa tarkib LAA+ISIMNYA sebagai mubtada’| nashab = athaf pada mahal nashab isim LAA)

وَأَعْطِ لاَ مَعْ هَمْزَةِ اسْتِفْهَامِ مَا تَسْتَحِقُّ دُوْنَ الاسْتِفْهَامِ

Beikanlah pada LAA NAFI JINSI yg menyertai HAMZAH ISTIFHAM, dengan hukum yg menhakinya ketika tanpa adanya HAMAZAH ISTIFHAM.

KETERANGAN BAIT KE 8
HAMZAH ISTIFHAM yg masuk pada LAA NFYIL JINSI (A LAA) maka hukumnya berlaku sama sebagaimana ketika belum dimasuki HAMZAH ISTIFHAM seperti hukum Isimnya, khobarnya, Na’at, Ma’thuf, Muhmal ketida LAA diulang-ulang dan sebagainya (lihat bait-bait sebelumnya).
Fungsi utama HAMZAH ISTIFHAM (A) disini adalah: mempertanyakan Nafi, yakni sumber khabar nafi tsb benar atau tidak?. Contoh:
A LAA TAAJIRO SHOODIQUN?
Apakah tidak ada pedagang itu jujur?
Atau HAMZAH ISTIFHAM difungsikan sebagai taubikh (teguran) contoh:
A LAA IHSAANA MINKA WA ANTA GHINIYYUN?
Apakah tidak ada kemurahan darimu sedang kamu adalah orang kaya?

وَشَاعَ فِي ذَا الْبَابِ إِسْقَاطُ الْخَبَرْ إِذَا الْمُرَادُ مَعْ سُقُوْطِهِ ظَهَرْ

Mayoritas penggunaan LAA NAFI JENIS dalam bab ini membuang KHOBAR, bilamamana pengertian yg menyertai pembuangan khobar tsb sudah jelas.

KETERANGAN BAIT KE 9

Apabila ada dalil tentang khobar dari LAA NAFI JENIS maka khobarnya cukup dibuang, pembuangan khobar dalah hal ini mayoritas digunakan. Baik dalil tersebut berupa Maqol (perkataan) contoh orang berkata “HAL MIN ROJULIN HAADHIRIN?” maka cukup dijawab “LAA ROJULA”. (TIDAK SORANG PUN = membuang khobar MUJUUDUN = ADA). Atau dalil tsb berupa hal keadaan contoh seseorang berkata pada orang yg keadaan sakit: “LAA BA’SA” (TIDAK APA-APA, membuang khobar ‘ALAIKA = BUAT MU) .

KESIMPULAN:

Mayoritas penggunaan khobar LAA NAFI JINSI adalah dibuang, demikian ini karena maksud/pengertian dari khobar yg terbuang tsb sudah jelas, dan kejelasan suatu khobar takkan terjadi kecuali adanya dalil.

۞ Zhonna dan Saudara-saudaranya ۞

ظَنَّ وَأَخَوَاتُهَا

Zhonna dan saudara-saudaranya

اِنْصِبْ بِفِعْلِ الْقَلْبِ جُزْأَي ابْتِدَا أَعْنِي رَأَى خَالَ عَلِمْتُ وَجَدَا

Nashabkanlah sebab Fi’il Qulub terhadap dua juz ibtida (Mubtada dan Khabar), yakni aku maksudkan adalah: Ro’aa, Khoola, ‘Alima, Wajada.

ظَنَّ حَسِبْتُ وَزَعَمْتُ مَعَ عَدّ حَجَا دَرَى وَجَعَلَ اللَّذْ كَاعْتَقَدْ

Zhonna, Hasiba dan Za’ama, berikutnya ‘Adda, Hajaa, Daroo, juga Ja’ala yg seperti arti I’taqada (mempercayai).

وَهَبْ تَعَلَّمْ وَالَّتِي كَصَيَّرَا أَيْضَاً بِهَا انْصِبْ مُبْتَداً وَخَبَرَا

dan Hab, Ta’allam, juga yg searti dg lafazh Shoyyaro nashabkanlah juga dengannya terhadap mubtada’ dan khobar.

KETERANGAN BAIT KE 1,2,3 :

Bagian Bab dari fiil-fiil nawasikh ZHONNA Cs, menashabkan mubtada’ dan khobar sebagai dua maf’ulnya.
Fi’il-fi’il pada bab ini terbagi dua, Af’aalul Quluub dan Af’aalut Tahwiil.

AF’AALUL QULUUB
Secara makna berarti pekerjaan-pekerjaan yg ada dalam hati seperti mengetahui, meyakini, menyangka, dll. Af’aalul Quluub dalam hal ini terbagi menjadi empat bagian:

Berfaedah YAQIIN (meyakinkan ketetapan khobar), yaitu:WAJADA. Contoh:
إنّا وجدناه صابرا
Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabarTA’ALLAM. Contoh:
تعلم أن الربا بلاء
Ketahuilah sesungguhnya harta riba adalah petakaDAROO. Contoh:
وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ
dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamuBerfaedah RUJHAAN (lebih cenderung pada meyakinkan ketetapan khobar), yaitu:JA’ALA (bima’na beri’tikad) contoh:
وجعلوا الملائكة الذين هم عباد الرحمن إناثاً
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuanHAJAA, contoh:
حجوت الجوَّ بارداً
Aku memperkirakan cuaca dingin‘ADDA, contoh:
عددت الصديقَ أخاً
Aku menganggap teman itu sebagai saudaraHAB, contoh:
فقلت أجرني أبا مالك # وإلا فهبني أمرأً هالكاً
Aku Cuma mampu berkata: berilah aku kesempatan sekali lagi wahai Abu Malik! Jika tidak maka anggaplah aku sesuatu yg binasa.ZA’AMA, contoh:
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا
Orang-orang yang kafir berdalih bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan.Umumnya berfaedah YAQIIN terkadang juga faedah RUJHAAN yaitu:RO’AA, contoh:
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا وَنَرَاهُ قَرِيبًا
Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). (RO’AA pertama berfaedah RUJHAAN dan RO’AA kedua berfaedah YAQIIN).‘ALIMA, contoh:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah.Umumnya berfaedah RUJHAAN terkadang juga faedah YAQIIN yaitu:ZHONNA, contoh Rujhaan:
فَقَالَ لَهُ فِرْعَوْنُ إِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا مُوسَى مَسْحُورًا
lalu Fir’aun berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang kena sihir.”
Contoh Yaqiin:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui TuhannyaKHOOLA, contoh:
خِلتُ الدراسةَ مُتعةً
Aku menyangka belajar itu adalah bersenang-senang.HASIBA, contoh:
حسب المهملُ النجاحَ سهلاً
Orang iseng mengira kesuksesan itu mudah.
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim

AF’AALUT-TAHWIIL
Secara makna menunjukkan pada perubahan sesuatu, yakni merubah dari satu keadaan kepada keadaan yg lain. Oleh karenanya dinamakan juga AF’AALUT-TASHYIIR, karena semua kata kerja pada bagian ini mempunyai arti SYUYYIRO (menjadikan). Yaitu:

JA’ALA, contoh:
جعلت الذهب خاتماً
Aku jadikan emas itu sebuah cincin.
وقدمنآ إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هبآء منثورا
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan[1062], lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.RODDA, contoh:
رَدّتِ الاستقامةُ الوجوهَ المظلمة نيرةً
Istiqomah mengembalikan jalan kegelapan kepada terang benderang
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu berimanTAROKA, contoh:
تركت الطلاب يبحثون في المسألة
Aku membiarkan siswa-siswa itu membahas suatu masalah.
وتركنا بعضهم يومئذ يموج في بعض
Kami biarkan mereka di hari itu[893] bercampur aduk antara satu dengan yang lain,ITTAKHODA, contoh:
اتخذت طالبَ العلم صديقاً
Aku jadikan pelajar itu sebagai teman.
واتّخذ الله إبراهيم خليلا
Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNyaSHUYYIRO, contoh:
صيرت الزجاج لامعاً
Aku jadikan kaca itu menjadi cermin.HAB, contoh:
وهبني الله فداء الحق
Semoga Allah menganugerahiku Fidaaul-haqq (balasan/tebusan kepada yg haq).

وَخُصَّ بِالْتَّعْلِيْقِ وَالإِلْغَاء مَا مِنْ قَبْلِ هَبْ وَالأَمْرَ هَبْ قَدْ أُلْزِمَا

Hukum Ta’liiq dan Ilghaa’ hanya dikhususkan untuk Saudara-saudara Zhonna yg disebut sebelum HAB! (lihat redaksi Bait-bait sebelumnya). Dan untuk HAB! Ditetapkan pada bentuk amarnya saja (tidak mutasharrif)

كَذَا تَعَلَّمْ وَلِغَيْرِ الْمَاضِ مِنْ سِوَاهُمَا اجْعَلْ كُلَّ مَا لَهُ زُكِنْ

Seperti juga TA’ALLAM! (sama dengan HAB!). Dan pada bentuk selain fi’il madhi (Zhonna Cs) selain HAB dan TA’ALLAM, jadikanlah semua hukum yg biasa berlaku pada fi’il madhinya.

KETERANGAN BAIT KE 4,5
Telah disebutkan pada keterangan bait sebelumnya bahwa fi’il-fi’il pada bab ini terbagi menjadi AF’ALUL QULUB dan AF’ALUT-TAHWIL.
AF’ALUL QULUB dalam bab ini, ada yg mutasharrif dan ada yg tidak mutasharrif. Fiil yg mutasharrif selain HAB dan TA’ALLAM.

Selain bentuk fi’il madhi dari fi’il-fi’il mutasharrif tersebut mengamal sebagaimana hukum pengamalan yg biasa berlaku untuk fi’il madhinya. Sedangkan HAB dan TA’ALLAM tidak diberlakukan kecuali bentuk Amarnya.

Diberlakukan juga secara khusus pada fi’il-fiil qulub yg mutasharrif yaitu hukum TA’LIQ dan ILGHA’:

TA’LIQ adalah: meninggalkan pengamalan secara lafazh bukan secara makna (mengamal secara Mahal/Maqom) dikarenakan ada lafazh yg menjadi pencegah (MAANI’). Contoh:
“ZHONANTU LA ZAIDUN QOOIMUN”
Yg menjadi pencegah dalam contoh ini adalah huruf LAM.

ILGHA’ adalah: meninggalkan pengamalan secara lafazh dan makna tanpa adanya MAANI’ (lafazh pencegah amal). Contoh:
“ZAIDUN ZHONANTU QOOIMUN”…

وَجَوِّزِ الإِلْغَاء لاَ فِي الإبْتِدَا وَانْوِ ضَمِيْرَ الشَّانِ أَوْ لاَمَ ابْتِدَا

Perbolehkan menghukumi Ilgha (ZHONNA CS – AF’ALUL QULUB MUTASHARRIF) yang bukan berada di awal kalimat.
Dan mengiralah dhamir syaen atau lam ibtida’…

فِي مُوهِمٍ إِلْغَاء مَا تَقَدَّمَا وَالْتَزِمِ الْتَّعْلِيْقَ قَبْلَ نَفْي مَا

…didalam perkataan seorang Muhim (anggapan benar) terhadap hukum Ilgha-nya yg ada di awal kalimat.
Dan wajibkanlah menghukumi Ta’liq padanya yg berada sebelum MAA NAFI, …

وَإِنْ وَلاَ لاَمُ ابْتِدَاءٍ أَوْ قَسَمْ كَذَا وَالاسْتِفْهَامُ ذَا لَهُ انْحَتَمْ

IN NAFI dan LAA NAFI, demikian juga LAM IBTIDA atau LAM QOSAM. Adapun ta’liq juga wajib dikarenakan ada ISTIFHAM.

KETERANGAN BAIT KE 6,7,8

Tiga bait diatas menerangkan hukum ILGHA dan TA’LIQ pada ZHONNA dan saudara-saudaranya yg berupa Af’aalul Qulub yg mutasharrif.

Hukum ILGHA (pembatalan amal secara lafzhan dan mahallan) karena berada di tengah atau di akhir kalimat. Contoh:
AS-SIDQU ‘ALIMTU NAAFI’UN
AS-SHIDQU NAAFI’UN ‘ALIMTU
“Aku tahu kejujuran itu bermanfa’at”.
Apabila ada kalam wahem yg meng-ilgha-kan padahal ia ada di awal kalimat, maka dihukumi menyimpan dhamir syaen atau lam ibtida’, contoh:
‘ALIMTU AS-SHIDQU NAAFI’UN
Takdir dhamir syaen :
‘ALIMTU HU ASSHIDQU NAAFI’UN
Takdir lam ibtida’:
‘ALIMTU LASSHIDQU NAAFI’UN

Hukum TA’LIQ (pembatalan amal secara lafzhan bukan mahallan). Dikarenakan ada Mani’ atau pencegah. Pencegah tersebut berupa:
1. Huruf nafi (MAA, IN dan LAA) contoh:
وَظَنُّوا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍ
وَيَعْلَمَ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِنَا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍ
وَتَظُنُّونَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا
2. Lam Ibtida’ contoh:
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ
3. Lam Qosam contoh:
علمت ليحاسبن المرء على عمله
4. Istifham, contoh:
لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى
وَإِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ أَمْ بَعِيدٌ مَا تُوعَدُونَ
……………

لِعِلْمِ عِرْفَانٍ وَظَنَ تُهَمَهْ تَعْدِيَةٌ لِوَاحِدٍ مُلْتَزَمَهْ

Bagi lafazh ‘ILMUN (yg mempunyai arti) ‘IRFAANUN (mengenal) dan ZHONNUN (yg mempunyai arti) TUHAMATUN (menuduh), lazimnya muta’addi pada satu maf’ul.

وَلِرَأَى الْرُّؤيَا انْمِ مَا لِعَلِمَا طَالِبَ مَفْعُوْلَيْنِ مِنْ قَبْلُ انْتَمَى

Dan bagi lafazh RO-A (yg mempunyai arit RU-YAA (bermimpi) golongkanlah! pada hukum golongan lafazh ‘ALIMA dengan menuntut dua maf’ul, sebagaimana disebutkan pada bait sebelumnya (lihat disini awal bait bab zhanna CS).

وَلاَ تُجِزْ هُنَا بِلاَ دَلِيْلٍ سُقُوْطَ مَفْعُوْلَيْنِ أَوْ مَفْعُوْلِ

Di sini (bab zhanna CS) janganlah kamu memperbolehkan membuang dua maf’ul ataupun satu maful dengan tanpa adanya dalil (yakni boleh apabila ada dalil/penunjukan lafazh)

وَكَتَظُنُّ اجْعَلْ تَقُوْلُ إِنْ وَلِي مُسْتَفْهَماً بِهِ وَلَمْ يَنْفَصِلِ

Jadikanlah untuk lafazh TAQUULU (berbentuk fi’il mudhari’ mukhathab) berlaku seperti hukum TAZHUNNU, jika ia mengiringi langsung adat istifham dengan tidak terpisah…. < ke bait berikutnya >

بِغَيْرِ ظَرْفٍ أَوْ كَظَرْفٍ أَوْ عَمَلْ وَإِنْ بِبَعْضِ ذِي فَصَلْتَ يُحْتَمَلْ

Selain terpisah oleh Zhorof atau yg serupa Zhorof (jar-majrur) atau ma’mulnya. Jika kamu pisahkan dengan sebagian pemisah ini, maka pemisahan ini dibenarkan.

وَأُجْرِيَ الْقَوْلُ كَظَنَ مُطْلَقَا عِنْدَ سُلَيْمٍ نَحْو قُلْ ذَا مُشْفِقَا

Juga lafazh QAUL diberlakukan seperti hukum ZHANNA secara mutlak (tanpa syarat) demikian menurut logat Bani Sulaim, contoh: QUL! DZAA MUSYFIQAN

۞ A’lama dan Aroo ۞

أَعْلَمَ وَأَرَى

BAB A’LAMA DAN AROO

إِلَى ثَلاَثَةٍ رَأَى وَعَلِمَا عَدَّوْا إذَا صَارَا أَرَى وَأَعْلَمَا

Mereka (Ulama Nuhat) memuta’addikan lafazh ‘ALIMA dan RO-A kepada tiga Maf’ul bilamana kedua lafazh tsb menjadi A’LAMA dan AROO (dengan menambah Hamzah Ta’diyah di awal kalimah).

وَمَا لِمَفْعُوْلَيْ عَلِمْتُ مُطْلَقَا لِلْثَّانِ وَالْثَالِثِ أَيْضَاً حُقِّقَا

Hukum yg berlaku untuk kedua Maf’ul lafazh ‘ALIMTU secara mutlak (lihat pada bab Zhanna cs), juga diberlakukan untuk Maf’ul yg kedua dan Maf’ul yg ketiga (pada Bab A’lama dan Aroo ini)

وَإِنْ تَعَدَّيَا لِوَاحِدٍ بِلاَ هَمْزٍ فَلِاثنَيْنِ بِهِ تَوَصَّلاَ

Jika kedua lafazh tersebut muta’addi kepada satu maf’ul ketika tanpa hamzah (‘ALIMA/RO-A yg mempunyai arti AROFA/BASHARO “mengenal/melihat), maka menjadi muta’addi kepada dua Maf’ul ketika bersambung dengan hamzah (A’LAMA/AROO “memperkenalkan/memperlihatkan)

وَالْثَانِ مِنْهُمَا كَثَانِي اثْنَيْ كَسَا فَهْوَ بِهِ فِي كُلِّ حُكْمٍ ذُو ائْتِسَا

Maf’ul yg kedua dari kedua Maf’ul (A’LAMA/AROO yg muta’addi pada dua Maf’ul) seperti hukum Maf’ul yg kedua dari kedua Maf’ul lafazh KASAA, maka ia (Maf’ul kedua A’lama/Aroo) di dalam semua hukumnya sebagai pengikut jejaknya (Maf’ul kedua Kasaa).

وَكَأَرَى الْسَّابِقِ نَبَّا أَخْبَرَا حَدَّثَ أَنْبأَ كَذَاكَ خبَّرَا

Juga seperti hukum lafazh AROO yg lalu (maksudnya yg muta’addi pada tiga Maf’ul) yaitu lafazh NABBA-A (memberitakan), AKHBARO (mengabarkan), HADDATSA (menceritakan), ANBA-A (memberitakan) demikian juga lafazh KHOBBARO (memberitakan).

۞ Isim Fa’il ۞

الْفَاعِلُ

FAA’IL (subjek pekerja)

HUKUM I’ROB FA’IL ROFA’

الْفَاعِلُ الَّذِي كَمَرْفُوعَيّ أَتَى زَيْدٌ مُنِيْرَاً وَجْهُهُ نِعْمَ الْفَتَى

Yang disebut Fa’il adalah seperti kedua lafazh yg dirofa’kan dalam contoh: “ATAA ZAIDUN MUNIIRON WAJHUHU NI’MAL FATAA = zaid datang dengan berseri-seri wajahnya seorang pemuda yg beruntung”

Yakni, (1).  Fa’il yg dirofa’kan oleh fi’il mutashorrif atau oleh fi’il jamid seperti contoh “ATAA ZAIDUN dan NI’MAL FATAA”. (2).  Fa’il yg dirofa’kan oleh syibhul fi’li/serupa pengamalan fi’il seperti contoh: MUNIIRON WAJHU HU.

HUKUM POSISI FA’IL ADA SETELAH FI’IL

وَبَعْدَ فِعْل فَاعِلٌ فَإِنْ ظَهَرْ فَهْوَ وَإِلاَّ فَضَمِيْرٌ اسْتَتَرْ

Faa’il adanya setelah Fi’il, maka jika nampak itulah Fa’ilnya (berupa Isim Zhahir atau Dhamir Bariz) dan jika tidak nampak maka Fa’ilnya berupa Dhamir yg tersimpan (dhamir mustatir).

HUKUM FA’IL ZHOHIR BENTUK DUAL ATAU JAMAK FI’ILNYA TETAP BENTUK MUFROD

وَجَرِّدِ الْفِعْلَ إِذَا مَا أُسْنِدَا لاِثْنَيْنِ أَوْ جَمْعٍ كَفَازَ الْشُّهَدَا

Kosongkanlah Kalimah Fi’ilnya (kosong tanpa tanda dhamir) apabila ia dimusnadkan/disandarka pada Fa’il Zhohir Mutsanna ataupun Jamak, contohnya seperti: “Faaza as-Syuhada = Jayalah para Syuhada”

FAA’IL DARI FI’IL YG DIBUANG

وَقَدْ يُقَالُ سَعِدَا وَسَعِدُوا وَالْفِعْلُ لِلْظَّاهِرِ بَعْدُ مُسْنَدُ

Dan terkadang diucapkan “SA’IDAA” juga “SA’IDUU” (menetapkan alif atau wawu sebagai huruf tanda tatsniyah atau jamak, bukan sebagai fa’il isim dhamir) beserta Fi’ilnya tetap menjadi Musnad bagi fa’il Isim Zhahir setelahnya. (contoh: “SA’IDAA AT-THALIBAANI = dua siswa berbahagia” atau SA’IDUU AT-THULLAABU = para siswa berbahagia).

demikian menurut sebagian lahjah orang Arab alif atau wawu difungsikan sebagai huruf tanda tatsniyah dan jamak seperti huruf TA’ tanda mu’annats. sebagaimana mereka mengatakan AKALUUNII AL-BARAAGHITSU “kutu-kutu itu memakanku”. Dan lain lagi menurut mayoritas, kalam seperti itu tetap menfungsikan alif dan wawu isim dhamir sebagai Fa’ilnya, sedangkan isim zhahir setelahnya sebagai badal bagi isim dhamir atau pula sebagai mubtada’ yg diakhirkan.

Contoh firman Allah:

وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka (al-Anbiyaa’ : 3)

ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ
kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). (al-Maa-dah : 71)

وَيَرْفَعُ الْفَاعِلَ فِعْلٌ أضْمِرَا كَمِثْلِ زَيْدٌ فِي جَوَابِ مَنْ قَرَا

Kalimah Fi’il yg tersimpan merofa’kan Faa’il, adalah semisal contoh : “ZAIDUN” (takdirannya QORO-A ZAIDUN = Zaid membaca) pada jawaban pertanyaan: MAN QORO-A? = siapa yg membaca?

Faa’il ada yg dirofa’kan oleh Fi’il yg disimpan. Baik penyimpanan fi’il itu bersifat jawazan, semisal menjadi jawab Istifham sebagaimana contoh yg diangkat oleh Mushannif dalam bait diatas, atau menjadi jawab Nafi seperti contoh “MAA QORO-A HU AHADUN” (seorangpun tidak membacanya) maka dijawab “BALAA ZAIDUN ” (takdirannya BALAA QORO’A HU ZAIDUN = ya… zaid telah membacanya).

Contoh Firman Allah Swt:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, (az-Zukhruf : 87)

Atau penyimpanan fi’il itu bersifat wujuban, semisal faa’ilnya jatuh sesudah IN syarthiyyah atau IDZA syarthiyyah. Contoh “IN DHO’IIFUN ISTANSHURUKA FANSHURHU!” (jika seorang yg lemah yakni minta tolong kepadamu maka tolonglah!) lafazh DHO’IIFUN manjadi faa’il dari fi’il yg wajib dibuang, takdirannya ISTANSHURUKA DHO’IIFUN.

Contoh Firman Allah:

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ
jika seorang meninggal dunia …. (An-Nisaa’ 176)

إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ
Apabila langit terbelah (Al-Insyiqaaq :1)

PERIHAL TA TANITS SAKINAH/TA SUKUN TANDA MUANNATS PADA KALIMA FI’IL

وَتَاءُ تَأْنِيْثٍ تَلِي الْمَاضِي إِذَا كَانَ لأنْثَى كَأَبَتْ هِنْدُ الأَذَى

Huruf Ta’ tanda Muannats mengiringi Fi’il Madhi bilamana dimusnadkan kepada Muannats. Seperti contoh: ABAT HINDUN AL-ADZAA = Hindun menghindari hal yg merugikan.

Apabila Fi’il Madhi dimusnadkan kepada Muannats, maka diberi Ta’ sukun tanda muannats sebagai penujukan bahwa Faa’ilnya Muannats. Baik Muannats Hakiki sebagaimana contoh dalam bait diatas oleh mushannif. Ataupun Muannats Majazi, contoh: THOLA’AT ASY-SYAMSU = Matahari telah terbit.

وَإِنَّمَا تَلْزَمُ فِعْلَ مُضْمَرِ مُتَّصِلٍ أَوْ مُفْهِمٍ ذَاتَ حِرِ

Sesungguhnya Ta’ Ta’nits tsb hanya diwajibkan pada kalimah Fi’il yg punya Faa’il Dhamir Muttashil, atau Faa’il Zhahir Muttashil yg memberi pemahaman memiliki farji (Muannats Haqiqi)

Perihal tanda muannats/TA ta’nits pada kalimah Fi’il tsb sebagaimana Bait diatas adalah Lazim/wajib.
Contoh TA tanits lazim/wajib:
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR muttashil / mustatir yg kembali pada muannats baik haqiqi ataupun majazi.
Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Haqiqi :
HINDUN QOOMAT = Hindun berdiri, HINDAANI QOOMATAA = dua Hindun berdiri.

Contoh firman Allah:

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ
Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: (Ali Imran : 36)

Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Majazi:
AS-SYAMSU THOLA’AT = matahari terbit. AL-‘AINAANI NAZHOROTAA = dua mata melihat.
Contoh firman Allah:

كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir (Al Baqarah 261)

2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Haqiqi yg muttashil/b ersambung langsung. Contoh:
QOOMAT HINDUN = Hindun berdiri, QOOMAT AL-HIDAANI = dua Hindun berdiri, QOOMAT AL-HINDAATUN = banyak Hindung berdiri.

Contoh Firman Allah:

وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ
Dan berkatalah isteri Fir’aun:… (alQashash : 9)

Selain dua parameter diatas maka ta ta’nits dihukumi Jawaz, contoh :
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR munfashil
MAA QOOMA ILLA HIYA =Tidak berdiri kecuali dia (lebih baik tanpa ta’ ta’nits)

2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Majazi, contoh:
THOLA’AT AS-SYAMSU = Matahari telah terbit. (boleh memakai ta’ ta’nits atau tidak).

Contoh Firman Allah :
Dengan memakai ta’ ta’nits:
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
maka tidaklah beruntung perniagaan mereka (AlBaqarah:16)

Tanpa Ta’ ta’nits:
وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
dan matahari dan bulan dikumpulkan (al-Qiyaamah:9)

وَقَدْح يُبِيْحُ الْفَصْلُ تَرْكَ الْتَّاءِ فِي نَحْوِ أَتَى الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِفِ

Terkadang Fashl itu (pemisah antara fi’il dan Faa’il yg muannats haqiqi) membolehkan meninggalkan TA tanda muannats (tanpa TA pada fi’ilnya) dalam contoh: “ATAA AL-QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI” = “putri seorang yg menetap itu mendatangi qodhi/hakim” (yakni, lebih baik pakai TA manjadi “ATAT AL-QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI”)

KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’ilnya yg muannats haqiqi tersebut terdapat Fashl/pemisah yg selain lafazh ILLA. Maka kalimah Fi’ilnya boleh tanpa memakai TA tanda muannats namun yg lebih baik dengan tetap memakai TA tanda muannats. Contoh sebagaimana bait diatas: boleh “ATAA” yang terbaik: “ATAT”.

وَالْحَذْفُ مَعْ فَصْلٍ بِإِلاَّ فُضِّلاَ كَمَا زَكَا إِلاَّ فَتَاةُ ابْنِ الْعَلاَ

Membuang TA tanda muannats bersamaan adanya Fashl dengan ILLA, adalah diutamakan. Seperti contoh: MAA ZAKAA ILLA FATAATU IBNIL-ALAA” = “tidak seorang yg baik kecuali gadis putri Ibnul-Alaa.

KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’il muanntas tsb terdapat Fashl/pemisah yg berupa ILLA, maka menurut Jumhur Nuhat tidak boleh menetapkan TA tanda muannats. Contoh MAA QAAMA ILLA HINDUN dan MAA THALA’A ILLA AS-SYAMSU, maka tidak boleh mengatakan MAA QAAMAT ILLA HINDUN atau MAA THALA’AT ILLA AS-SYAMSU. Kecuali dalam hal ini ada syair arab yg menetapkan TA muannats tapi sangat jarang sekali adanya

وَالْحَذْفُ قَدْ يَأْتِي بِلاَ فَصْلٍ وَمَعْ ضَمِيْرِ ذِي الْمَجَازِ فِي شِعْرٍ وَقَعْ

Pembuangan TA’ tanits (pada kalimah fi’il yg mempunyai Faa’il Muannats Haqiqi) kadang terjadi dengan tanpa adanya Fashl (lafazh pemisah antara fi’il dan faa’ilnya). Dan pembuangan ini juga pernah terjadi pada sebuah syair, beserta Faa’ilnya berupa Dhamir muannats Majazy.

KET:
Pernah terjadi pada Kalam Arab membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg bersambung langsung tanpa Fashl pada faa’il isim zhahir muannats hakiki. Demikian adalah Syadz dan jarang adanya. Contoh hikayah orang arab yg mengatakan: “QOOLA FULAANATUN” = Si Fulan (Pr) berkata”.

Juga pernah terjadi hanya khusus pada sebuah syair, membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg mempunyai faa’il dhamir muannats Majazy. Contoh ” WA LAA ARDHA ABQOLA” = “tidak ada bumi yg menumbuhkan tunas” pada sebuah Syair Jahiliyah oleh Amir Bin Juwain At-tho-iy yg menggambarkan keadaan suatu daerah yg sangat subur gemah ripah loh jinawi:

فلا مُزْنَةٌ وَدَقَتْ وَدْقَها # ولا أَرْضَ أبقَلَ إبْقالَها

“tidak ada awan yg mencurahkan curahan hujannya dan tidak ada bumi pun yg menumbuhkan tumbuhan tunasnya (seperti daerah ini).

وَالتَّاءُ مَعْ جَمْعٍ سِوَى الْسَّالِمِ مِنْ مُذَكَّرٍ كَالْتَّاءِ مَعْ إِحْدَى اللَّبِنْ

Hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim adalah seperti hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai mufradnya lafazh “LABINUN” (yaitu lafazh “LABINATUN”=batu bata. Yakni Muannats Majazy)

KET:

Hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il Isim Zhahir Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim adalah Jawaz (Boleh membuang ta’ ta’nist atau tidak), seperti hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il isim Zhahir Mu’annats Majazi.

Contoh:

1- Faa’ilnya berupa Jamak Muannats Salim: “JAA-AT MUA’ALIMAATUN” atau “JAA-A MU’ALLIMAATUN” =para pengajar (pr) telah datang.

2- Faa’ilnya berupa Jamak Taksir: “JAA-A RIJAALUN” atau “JAA-AT RIJAALUN”
Contoh dalam AL-Qur’an
memakai Ta’ Ta’nits:
لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran (Al-A’rof : 43)
Tanpa Ta’ Ta’nits:
قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي
.” Katakanlah: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelumku (Ali Imran : 183)

3. Termasuk juga Faa’ilnya berupa Ismu Jam’in (Isim Jama’): “JAA-A QOUMUN” atau “JAA-AT QOUMUN” = Kaum telah datang.

Contoh dalam Al-Qur’an

Memakai ta’ ta’nits:
فَآمَنَتْ طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَتْ طَائِفَةٌ
lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir (ash-Shof:14)

Tanpa Ta’ Ta’nits:
بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ غَيْرَ الَّذِي تَقُولُ
segolongan dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi (An-Nisaa’ : 81)

وَالْحَذْفَ فِي نِعْمَ الْفَتَاةُ اسْتَحْسَنُوا لأَنَّ قَصْدَ الْجِنْسِ فِيْهِ بَيِّنُ

Ulama Nuhat memandang baik terhadap pembuangan Ta’ ta’nits dalam contoh: “NI’MAL-FATAATU” karena bertujuan jenis nampak jelas didalamnya.

KET:

Demikian juga dihukumi Jawaz penggunaan TA ta’nits pada kalimah fi’il golongan NI’MA cs (Af’aalul-Mad-hi aw Af’aaludz-zdimmi) yang Faa’ilnya berupa isim Zhahir Mu’annats baik majazi atau haqiqi. Alasan hukum Jawaz karena Faa’ilnya dimaksudkan sebagai Jenis. diserupakan fi’il yg musnad pada Faa’il Jamak dalam hal subjeknya berbilangan. Contoh:

NI’MA AL-FATAATU = sebaik-baiknya pemudi (AL dalam lafazh AL-FATAATU sebagai AL jinsiyyah).

Boleh membuang ta’ ta’nits karena dipandang baik, namun menetapkan ta’ ta’nits adalah pilihan yg terbaik.

POSISI FA’IL

وَالأَصْلُ فِي الْفَاعِلِ أَنْ يَتَّصِلاَ وَالأَصْلُ فِي الْمَفْعُولِ أَنْ يَنْفصِلَا

Asal penyebutan Faa’il harus Ittishal/bersambung (antara Fi’il dan Faa’ilnya tanpa ada pemisah). Dan asal penyebutan Maf’ul harus Infishal/berpisah (antara Fi’il dan Maf’ulnya dgn dipisah oleh Faa’ilnya).

وَقَدْ يُجَاءُ بِخِلافِ الأَصْل وَقَدْ يَجِي الْمَفْعُوْلُ قَبْلَ الْفِعْلِ

Terkadang juga didatangkannya dengan Hukum yg menyalaihi Asal, dan terkadang juga Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya.

KETERANGAN:

hukum asal Faa’il ada setelah Fi’ilnya. Dan hukum asal Maf’ul berpisah dengan Fi’ilnya yakni berada setelah Faa’il. (FI’IL > FAA’IL > MAF’UL) contoh:

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (An-Naml : 16)

Terkadang membedakan dengan hukum asal, yakni Maf’ul disebut sebelum Faa’ilnya. Contoh:

إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ
ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut (Al-Baqarah : 133)

Atau Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya. Contoh:

فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Al-Baqarah : 87)

وَأَخِّر الْمَفْعُولَ إِنْ لَبْسٌ حُذِرْ أَوْ أُضْمِرَ الْفَاعِلُ غَيْرَ مُنْحَصِرْ

Akhirkanlah Maf’ulnya! (wajib berada setelah Faa’il) jika ada kesamaran yg harus dihindarkan (demi menjaga ketidakjelasan antara faa’il dan mafulnya) atau Faa’ilnya berupa Dhamir selain yg dimahshur (yg diperkecualikan).

KETERANGAN :

Faa’il wajib dikedepankan dan Maf’ul di belakangnya, demikian apabila ditakutkan ada ketidakjelasan antara Faa’il dan Maf’ul, misalkan apabila i’rob antara keduanya samar. Contoh “DHARABA MUSA ‘ISA”. Atau faa’ilnya berupa dhamir selain yg dimahshur contoh: “DHARABTU ZAIDAN” apabila faa’ilnya berupa dhamir yg dimahshur maka wajib diakhirkan, contoh: “MAA DHARABA ZAIDAN ILLA ANA”

وَمَا بِإِلاَّ أَوْ بِإِنَّمَا انْحَصَرْ أَخِّرْ وَقَدْ يَسْبِقُ إِنْ قَصْدٌ ظَهَرْ

Terhadap suatu (Faa’il atau Maf’ul) yang dimahshur dengan ILLAA atau dengan INNAMAA, akhirkanlah! (diakhirkan dari suatu yg tidak dimahshur). # Terkadang suatu (Faa’il atau Maf’ul) yg dimahshur mendahului yg tidak dimahshur, jika maksudnya sudah jelas.

KETERANGAN:

Salah satu dari Fa’il atau Maf’ul yang dimahshur harus diakhirkan dari bagian yg tidak dimahshur, baik alat mahshurnya menggunakan INNAMA ataupun menggunakan ILLA.

Contoh mengakhirkan Fa’il yg dimahshur dan mengedepankan Maf’ulnya:

“MAA DHARABA AMRAN ILLA ZAIDUN” = tiada yg memukul Amr kecuali hanya Zaid
“INNAMA DHARABA AMRAN ZAIDUN” = hanya Zaid saja yg memukul Amr

Contoh dlm Al-Qur’an:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Faatihir :28)

Contoh mengakhirkan Maf’ul yg dimahshur dan mengedepankan Faa’ilnya:

“MAA DHARABA ZAIDUN ILLA AMRAN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada Amr
“INNAMA DHARABA ZAIDUN AMRAN” = Zaid memukul hanya kepada Amr saja

Terkadang lafazh yg dimahshur -baik sebagai faa’il atau Maf’uul- dikedepankan dari lafazh yg tidak dimahshur apabila sudah jelas dan nyata mana lafazh yg dimahshur dan mana yang tidak. Demikian apabila alat mahshurnya berupa ILLA karena lafazh yg jatuh sesudah ILLA tentunya yg dimahshur. Apabila alat mahshurnya menggunakan INNAMA, maka tidak boleh mengedepankan lafazh yg dimahshur sebab tidak ada kejelasan.

Contoh boleh mengedepankan Maf’ul yg dimahshur dengan ILLA :

“MAA DHARABA ILLA AMRAN ZAIDUN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada Amr

وَشَاعَ نَحْوُ خَافَ رَبَّهُ عُمَرْ وَشَذَّ نَحْوَ زَانَ نَوْرُهُ الْشَّجَرْ

Terkenal penggunaan kalimat seperti: “KHOOFA ROBBAHU ‘UMARU=Umar takut pada Tuhannya” (yakni, mengedepankan Maf’ul yg memuat Dhamir merujuk pada Fa’il di belakangnya). Dan Syadz penggunaan kalimat seperti: “ZAANA NAURUHU ASY-SYAJARO=bunga-bungaan pada pepohonan menghiasi pepohonan” (yakni, mengedepankan Fa’il yg memuat Dhamir merujuk pada Maf’ul di belakangnya).

KETERANGAN:

Apabila pada Maf’ul terdapat dhamir yg merujuk pada Fa’il, maka boleh maf’ul tsb dikedepankan dari Fa’ilnya. Sebab dhamir tsb hanya merujuk ke belakang secara lafzhan/lafazhnya bukan secara rutbatan/tingkatannya, karena status tingkatan/pangkat maf’ul ada dibelakang/dibawah fa’il seperti yg telah dijelaskan pada bait lalu bahwa hukum asal fa’il di depan dan maf’ul dibelakang.

Sebaliknya dilarang mengedepankan Fa’il yg memuat dhamir merujuk pada Maf’ul yg dibelakang. sebab dhamir akan merujuk kebelakang secara Lafzhan wa Rutbatan.

۞ Naibul Fa’il ۞

الْنَّائِبُ عَنِ الْفَاعِلِ

NAIBUL FA’IL

يَنُوْبُ مَفْعُوْلٌ بِهِ عَنْ فَاعِلِ ¤ فِيْمَا لَهُ كَنِيْلَ خَيْرُ نِائِلِ

Maf’ul bih menggantikan Fa’il di dalam semua hukumnya. Seperti contoh: “NIILA KHOURU NAA-ILI=anugerah terbaik telah diperoleh” .

KETERANGAN:

Naibul Fa’il adalah Isim yg dirofa’kan baik secara lafzhan atau mahallan, menggantikan dan menempati tempatnya fa’il yg dibuang dan fi’ilnya dibina’ Majhul. Baik isim yg menggantikan itu asalnya berupa Maf’ul bih atau serupanya semisal Zhorof, Masdar, Jar-majru dll.

Dengan demikian pembuangan Fa’il dalam hal ini menimbulkan dua keputusan:
1. Merubah Fi’ilnya ke bentuk Majhul
2. Menempatkan Pengganti Fa’il pada posisi Fa’il beriku hukum2nya sebagaimana telah disebutkan dalam Bab Faa’il– semisal harus Rofa’, harus berada setelah Fi’ilnya, sebagai subjek pokok kalimat, hukum ta’nits pada fi’ilnya, dll.

فَأَوَّلَ الْفِعْلِ اضْمُمَنْ وَالْمُتَّصِلْ ¤ بِالآخِرِ اكْسِرْ فِي مُضِيَ كَوُصِلْ

Dhommahkan huruf pertama Kalimah Fi’il (Mutlak, baik Madhi atau Mudhari yg dibentuk Majhul). Dan kasrohkan huruf yg bersambung dengan akhir (yakni, huruf sebelum akhir) pada Kalimah Fi’il Madhi seperti contoh: WUSHILA

وَاجْعَلْهُ مِنْ مُضَارِعٍ مُنْفَتِحَا ¤ كَيَنْتَحِي الْمَقُول فِيْهِ يُنْتَحَى

Dan jadikanlah huruf sebelum terakhir dari Fi’il Mudhari dengan berharkat Fathah, demikian seperti YANTAHII diucapkan menjadi YUNTAHAA.

KETERANGAN:

Telah disebutkan bahwa syarat Naa’ibul Faa’il adalah Fi’ilnya harus dibentuk “Mabni Majhul”. Caranya sebagai berikut:

1. Apabila Fi’il Madhi, maka huruf awal didhammahkan dan huruf sebelum akhir dikasrahkan. Contoh :

فُتِحَ بابُ الرزق
FUTIHA BAABUR-RIZQI = pintu rezki telah dibuka

شُرِبَ العسلُ
SYURIBA AL-‘ASALU = madu telah diminum

2. Apabila Fi’il Mudhari, maka maka huruf awal didhammahkan dan huruf sebelum akhir difat-hahkan. Contoh:

يُحترَمُ العالم
YUHTAROMU AL-‘AALIMU = orang alim dihormati

يُتَعلّم النحو
YUTA’ALLAMU ANNAHWU = ilmu Nahwu dipelajari

وَالْثَّانِيَ الْتَّالِي تَا الْمَطَاوعَهْ ¤ كَالأَوَّلِ اجْعَلْهُ بِلاَ مُنَازَعَهْ

Huruf kedua yang mengiringi Ta’ Muthowa’ah, jadikanlah seperti huruf yg pertama dengan tanpa pertentangan (yakni sama-sama dikarkati Dhommah).

وَثَالِثَ الَّذِي بِهَمْزِ الْوَصْلِ ¤ كَالأَوَّلِ اجْعَلَنَّهُ كَاسْتُحْلِي

Huruf ketiga dari fi’il yg ber-hamzah washal, juga jadikanlah seperti huruf yg pertama (yakni sama-sama dikarkati Dhommah) Seperti contoh: USTUHLIY.

KETERANGAN:

Lanjutan dari bait sebelumnya tentang menjadikan Fi’il Mabni Majhul:

Apabila kalimah fi’il diawali dengan Ta’ Muthowa’ah atau Ta’ zaidah semisalnya, maka huruf pertama dan kedua diharkati Dhommah. Contoh:

تُعُلّم النحوُ
TU’ULLIMA ANNAHWU = ilmu nahwu dipelajari

Dan Apabila kalimah fi’il diawali dengan Hamzah Washal, maka huruf pertama dan ketiga diharkati Dhommah. Contoh:

اُسْتُحْلي الشراب
USTUHLIY ASY-SYAROOBU = minuman didapati manis

وَاكْسِرْ أَوَ اشْمِمْ فَاثُلاَثِيَ أُعِلّ ¤ عَيْناً وَضَمٌّ جَا كَبُوعَ فَاحْتُمِلْ

Harkatilah Kasroh atau dibaca Isymam terhadap FA’ Fi’il Tsulatsi Mu’tal ‘Ain. Adapun Dhommah datang semisal “BUU’A” demikian dima’afkan.

KETERANGAN:

Kelanjutan dari bait sebelumnya perihal membuat Fi’il Mabni Majhul:

Apabila berupa Fi’il Madhi tiga huruf (Tsulatsi) yg ‘ain fi’ilnya terdiri dari huruf illat baik wawu atau ya (Mu’tal ‘Ain), maka boleh dibaca tiga jalan:

1. Dibaca Kasrah, huruf illat digant ya’, contoh:
صيم رمضان
SHIIMA ROMADHOONU = Bulan Ramadhan dipuasai (Bulan Ramadhan dijadikan waktu berpuasa)

2. Dibaca Isymam, suara harkat antara Dhommah pendek dan Kasroh panjang dengan berurutan secara cepat. Contoh “QUIILA” dan “GHUIIDHA” bacaan qiro’ah sab’ah pada ayat berikut:

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ
Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan

3. Dibaca Dhammah (bacaan paling dha’if), huruf illat diganti wawu seperti BUU’U. contoh dalam syair:

ليتَ وهل ينفع شيئاً ليتُ # ليتَ شباباً بوع فاشتريت

وَإِنْ بِشَكْلٍ خِيْفَ لَبْسٌ يُجْتَنَبْ وَمَا لِبَاعَ قَدْ يُرَى لِنَحْو حَبّ

Jika ditakuti ada kesamaran pada suatu syakal/corak, maka syakal demikian harus dihindari. Dan corak yg ada pada lafal “BAA’A” terkadang dijadikan pertimbangan untuk lafazh semisal “HABBA”.

KETERANGAN:

Perihal corak bacaan antara Isymam , Dhommah , dan Kasroh pada kalimah Fi’il Madhi Tsulatsi Mu’tal ‘Ain yg musnad pada Dhamir TA’ Mutakallim, TA’ Mukhotob atau Nun Niswah, ketika dibentuk MABNI MAJHUL.

“JIKA DITAKUTI ADA KESAMARAN PADA SUATU SYAKAL, MAKA SYAKAL DEMIKIAN HARUS DIHINDARI” (Ibnu Malik).

Semisal “BI’TU” ketika dibentuk Mabni Majhul , huruf pertama boleh dibaca Dhommah atau Isymam: “BU’TU” atau “BUI’TU”. Jangan dibaca Kasroh: “BI’TU” karena takut terjadi kesamaran antara mana yg Mabni Ma’lum dan mana yang Mabni Majhul.

Dan semisal “SUMTU” ketika dibentuk Mabni Majhul , huruf pertama boleh dibaca Kasroh atau Isymam: “SIMTU” atau “SUIMTU”. Jangan dibaca Dhommah : “SUMTU” karena takut terjadi kesamaran antara mana yg Mabni Ma’lum dan mana yang Mabni Majhul.

Demikian menurut Mushannif tentang keharusan menghindari dari kesamaran syakal, dan beliau menjelaskan dalam Syarah Al-Kafiyah bahwa pendapatnya tidaklah bertentangan dengan pendapat Imam Sibawaihi yg membolehkan secara mutlak penggunaan tiga corak bacaan diatas. Imam Sibawaihi berpendapat bahwa mereka dapat membedakannya secara takdiran antara Mabni Fa’il dan Mabni Maf’ul baik Isim atau Fi’il seperti lafal “MUKHTAARUN” dan “TUDHOORRO”. Oleh karenanya menghindari Iltibas/kesamaran dalam hal ini tidaklah wajib.

Apabila kalimah Fi’il Madhi Tsulatsi berupa Bina’ Mudho’af, semisal ‘ADDA, maka ketika dibentuk mabni Majhul boleh dibaca dengan tiga corak bacaan seperti BI’TU, yakni yang paling rojih dibaca Dhommah menjadi ‘UDDA, atau dibaca Isymam UIDDA ,atau dibaca kasroh ‘IDDA.

وَمَا لِفَا بَاعَ لِمَا الْعَيْنُ تَلِي فِي اخْتَارَ وَانْقَادَ وَشِبْهٍ يَنْجَلِي

Hukum bacaan (Dhommah, Kasroh, Isymam) bagi Fa’ Fi’il lafaz BAA’A, berlaku juga bagi Huruf sebelum ‘Ain Fi’il pada lafaz IKHTAARO dan INQAADA dan lafaz yg nampak serupanya.

KETERANGAN:

Lanjutan dari bet sebelumnya – Apabila Fi’il Madhi yg mu’tal ‘Ain tsb mengikuti wazan IFTA’ALA atau INFA’ALA, maka ketika dibentuk Mabni Majhul, huruf sebelum ‘Ain Fi’ilnya boleh dibaca DHOMMAH, KASRAH dan ISYMAM. Lebih baik dibaca Kasrah apabila Mu’tal ‘Ain Yaiy dan dibaca Dhommah apabil Mu’tal ‘Ain Wawiy.

Contoh Mu’tal ‘Ain yang Wawiy:

انقاد الطلاب للمعلم
INQAADA AT-THULLABU LIL MU’ALLIMI = murid-murid itu patuh pada gurunya

Dibentuk Mabni Majhul yg terbaik dibaca Dhommah :

انقود للمعلم
UNQUUDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

atau dibaca Kasroh:

انقيد للمعلم
INQIIDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

Atau dibaca Ismam

انقود للمعلم
UNQUIIDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

============

Contoh Mu’tal ‘Ain yang Yaiy:

اختار المعلم علياً
IKHTAARO AL-MU’ALLIMU ‘ALIYYAN = Guru itu memilih Ali

Dibentuk Mabni Majhul yg terbaik dibaca Kasroh :

اختير عليٌّ
IKHTIIRO ‘ALIYYUN = Ali dipilih

atau dibaca Dhommah:

اختور عليٌّ
UKHTUURO ALIYYUN = Ali dipilih

Atau dibaca Ismam

اختير عليٌّ
UKHTUIIRO ALIYYUN = Ali dipilih

وقابِِلٌ مِن ظَرفٍ أو مِن مَصدَرِ أو حَرفِ جَرٍّ بِنِيابَةٍ حَرِي

Lafazh yang dapat menerima pergantian (sebagai Naibul Fa’il) yg berupa Zhorof, Masdar atau Jar-Majrur, adalah layak (dijadikan Naibul Fa’il).

KETERANGAN:

Disebutkan pada bait pertama bahwa Maf’ul Bih menggantikan Fa’il yg tidak dihadirdkan, yakni sebagai Naibul Fa’il. Selain Maf’ul Bih ada lagi lafazh serupanya yg layak dijadikan Naibul Fa’il, yaitu Zhorof, Masdar dan Jar-Majrur, dengan ketentuan memenuhi syarat sebagai pengganti:

Syarat lafazh ZHOROF yang layak dijadikan Naibul Fa’il adalah harus Mutashorrif dan Mukhtash:

1. MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari lafazh yg khusus dinashobkan sebab Zhorfiyah saja semisal “SAHARO”, dan atau boleh majrur hanya oleh huruf MIN saja semisal “‘INDAKA”.
Sebab kalau dijadikan Naibul-Fa’il, maka akan menjadi Rofa’ dan ini menyalahi ketentuan Bahasa Arab yg telah memberlakukan khusus semisal pada dua lafazh tersebut diatas.

2. MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh MUBHAM/samar. Karena mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi Mukhtash/tertentu adalah dengan dimudhafkan, disifati, atau sebagainya.

Contoh:
صيم يومُ الخميس
SHIIMA YAUMUL KHOMIISI = hari kamis dipuasakan (puasa kamis)
Lafazh YAUMU mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab mudhaf.

جُلس وقتٌ طويل
JULISA WAQTUN THOWIILUN = waktu yg panjang didudukkan (duduk lama)
Lafazh WAQTUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati.

صيم رمضانُ
SHIIMA ROMADHOONU = bulah Ramadhan dipuasakan (puasa ramadhan)
Lafazh ROMADHOONU mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab ‘Alamiyyah/Isim ‘Alam.

=====

Syarat lafazh MASDAR yang layak dijadikan Naibul Fa’il, juga harus Mutashorrif dan Mukhtash:

1. MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari lafazh yg khusus dinashobkan sebab Masdariyah saja semisal “SUBHAANALLAHI” dan “MA’AADZALLAAHI”.
Sebab kalau dijadikan Naibul-Fa’il, maka akan menjadi Rofa’ dan ini menyalahi ketentuan Bahasa Arab yg telah memberlakukan khusus semisal pada dua kalimat tersebut diatas.

2. MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh MUBHAM/samar. Karena mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi Mukhtash/tertentu adalah dengan dimudhafkan, disifati, atau sebagainya, yg dapat menunjukkan bilangannya atau jenisnya.

Contoh:
قرئ قراءةٌ صحيحة
QURI’A QIROO’ATUN SHOHIIHATU = bacaan yg benar telah dibacakan
Lafazh QIROO’ATUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati yg menunjukkan jenisnya.

ضُرب ضربٌ واحد
DHURIBA DHORBUN WAAHIDUN = satu pukulan telah dipukulkan
Lafazh DHORBUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati yg menunjukkan bilangannya.

جُلس جلوسُ الخائف
JULISA JULUUSUL-KHOO’IF = duduknya orang takut telah didudukkan (duduk gelisah)
Lafazh JULUUSUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab mudhaf yg menunjukkan jenisnya.

=====

Syarat JAR-MAJRUR yang layak dijadikan Naibul Fa’il adalah huruf JAR MUTASHORRIF, MAJRUR MUKHTASH dan JAR GHAIRU TA’LIL

1. JAR MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari huruf Jar yg khusus men-Jar-kan lafazh tertentu, semisal “MUDZ/MUNDZU” khusus menjarkan pada isim zaman, “RUBBA” khusus menjarkan pada isim nakirah, “HURUF QOSAM” khusus menjarkan pada lafaz sumpah. Dan sebagainya.

2. MAJRUR MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh majrur yg MUBHAM/samar. Karena mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi Mukhtash/tertentu adalah dengan dimudhafkan, disifati, dimakrifatkan atau sebagainya.

3. JAR GHAIRU TA’LIL (sebab/alasan), yakni bukan terdiri dari huruf Jar yg menunjukkan ta’lil/sebab alasan, semisal “huruf LAM”, “huruf BA'”, “MIN” oleh karenanya menurut jumhur nuhat Maf’ul Liajlih tidak layak dijadikan Naibul Fa’il.

Contoh:
جُلس في المسجد الجامع
JULISA FII AL-MASJIDIL-JAAMI’ = masjid jami’/masjid yg besar diduduki
Lafazh FII huruf jar yg mutashorrif, lafazh AL-MASJIDI mukhtash sebab disifati. JAR-MAJRUR mahal rofa’ sebab Naibul Fail, atau MAJRUR mahal rofa’ dan huruf JAR zaidah.

فُرح بانتصار المسلمين
FURIHA BI INTISHOORI AL-MUSLIMIINA = kemenangan Muslimin digembirakan
Lafazh BI huruf jar yg mutashorrif, lafazh INTISHOORI mukhtash sebab mudhof. JAR-MAJRUR mahal rofa’ sebab Naibul Fail, atau MAJRUR mahal rofa’ dan huruf JAR zaidah.

ولا ينوبُ بعضُ هَذِي إن وُجِدْ في اللفظِ مَفعولٌ بِهِ وقَد يَرِدْ
وباتِّّفاقٍ قَد ينوبُ الثَّانِ مِن بابِ كَسا فيما التِباسُهُ أُمِن
في بابِ ظَنَّ وأَرَى المَنعُ اشتَهَر ولا أرى مَنعَاً إذا القَصدُ ظَهَر
وَمَا سِوَى النَّائِبِ مِمَّا عُلِّقَا بِالْرَّافِعِ النَّصْبُ لَهُ مُحَقَّقاً
۞ Istighol ۞

إِنْ مُضْمَرُ اسْمٍ سَابِقٍ فِعْلاً شَغَلْ ¤ عَنْهُ بِنَصْبِ لَفْظِهِ أَوِ الْمحَلّ

Jika DHAMIR dari ISIM SABIQ (Isim yg mendahului dalam penyebutannya) merepotkan terhadap Fi’ilnya, tentang hal yang menashabkan lafazh Isim Sabik ataupun mahalnya.

فَالسَّابِقَ انْصِبْهُ بِفعْلٍ أُضْمِرَا ¤ حَتْماً مُوَافِقٍ لِمَا قَدْ أُظْهِرَا

Maka: nashabkanlah ISIM SABIK tersebut oleh FI’IL yang wajib disimpan dengan mencocoki terhadap FI’IL yang dizhahirkan.

Definisi ISTIGHOL menurut bahasa adalah: kesibukan.
Definisi ISYTIGHOL menurut istilah nahwu adalah: Mengedepankan Isim (Isim Sabiq) dan mengakhirkan Amilnya (Fi’il atau yg serupa pengamalannya) disibukkan tentang nashabnya Isim Sabiq, sebab Amil tsb sudah beramal pada dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq atau pada Sababnya (lafazh mudhaf pada dhamir Isim Sabiq).

Contoh Isytighal Fi’il/Amil beramal pada Dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq:

زيدا ضربته

ZAIDAN DHOROBTU HU = Zaid, aku memukulnya*

زيدا مررت به

ZAIDAN MARORTU BIHII =Zaid, aku berpapasan dengannya*

* Seandainya Dhamir pada contoh-contoh diatas ditiadakan, niscaya Amil/Fi’il tsb beramal pada Isim Sabik sebagai Maf’ulnya yg dikedepankan, atau Mu’allaqnya yg dikedepankan.

Contoh Istighal Fi’il/Amil beramal pada Sabab Dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq:

زيدا ضربت ابنه

ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = Zaid, aku memukul anaknya.

 

 

Rukun-rukun dalam susunan kalimat ISYTIGHAL ada 3:

1. Masyghuulun ‘Anhu (lafazh yg dikedepankan/isim sabik)
2. Masyghuulun (Amil yg diakhirkan, Fi’il atau serupa Fi’il)
3. Masyghuulun Bihi (Dhamir/Sabab Dhamir yg merujuk pd Isim Saabiq)

Apabila terdapat kalimat dengan bentuk susunan rukun-rukun diatas, maka asalnya lafazh yg dikedepankan/isim sabiq tersebut boleh dibaca dua jalan:
1. Rofa’ sebagai Mubtada dan jumlah sesudahnya sebagai Khobarnya. Demikian yg ROJIH karena bebas dari masalah kira-kira/taqdir.
2. Nashob sebagai Maf’ul Bih bagi ‘Amil/Fi’il yg lafazhnya wajib dibuang ditafsiri dari ‘Amil/Fi’il yg lafaznya disebutkan. Demikian yg MARJUH karena butuh terhadap kira-kira/taqdir (disinilah pembahasan ISYTIGHOL).
Fi’il yg terbuang harus ditafsiri dari Fi’il yg tersebut, baik dalam penafsiarannya mencocoki lafaz dan makna, atau mencocoki makna saja, ataupun tidak mencocoki lafaz dan makna tapi mencakup Fi’il yg tersebut. Contoh:

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri mencocoki lafaz dan makna:

زيدا ضربته

ZAIDAN DHOROBTU HU = Zaid, aku memukulnya

Taqdirannya adalah:

ضربت زيدا  ضربته

DHOROBTU ZAIDAN DHOROBTU HU = aku memukul Zaid yakni aku memukulnya

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri mencocoki makna saja:

زيدا مررت به

ZAIDAN MARORTU BI HII = Zaid, aku berpapasan dengannya

Taqdirannya adalah:

جاوزت زيدا  مررت به

JAAWAZTU ZAIDAN MARORTU BI HII = aku lewat bertemu Zaid yakni aku berpapasan dengannya.

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri tidak mencocoki lafaz dan makna tapi mencakup:

زيدا ضربت ابنه

ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = Zaid, aku memukul anaknya.

Taqdirannya adalah:

أهنت زيدا  ضربت ابنه

AHANTU ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = aku menghinakan Zaid yakni aku memukul anaknya*

* maka dengan demikian jumlah fi’liyah yang ada setelah Isim Sabiq tersebut disebut jumlah tafsiriyah la mahalla lahaa minal I’roob (tidak punya I’rob).

Dijelaskan perihal ISIM SABIQ yaitu: ada yg wajib nashab, rojih nashob, wajib rofa’, rojih rofa, ataupun yg tidak nashob dan rofa’ InsyaAllah akan dijelaskan pada Bait-bait selanjutnya.

Selasa, 25 Juni 2019

Tarkiban jurumiyah bag 2


باب الافعال

اَلْأَفْعَالُ ثَلَاثَةٌ :مَاضٍ، وَمُضَارِعٌ، وَأَمْرٌ، نَحْوُ ضَرَبَ، وَيَضْرِبُ، وَاضْرِبْ.

(بابُ) دادى خبر مبتدا محدوف كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر ، باب مضاف (الافعالِ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر، (الفعالُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (ثلاثةٌ) دادى خبرى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (ماضٍ) دادى بدل سكيڠ ثلاثة كود رفع علامة رفعنى ضمه مقدره على الياء المحدوفة منع من ظهورها لالتقاء الساكنين (و) حرف عطف (مضارعٌ) معطوف مريڠ ماض كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (و) حرف عطف (امرٌ) معطوف مريڠ ماض كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر ، (نحوُ) دادى خبر مبتدا محدوف كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر نحو مضاف (ضربَ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره مقدره على اخرها من ظهورها استغال المحل بحركة الحكاية (و) حرف عطف (يضربُ) معطوف مريڠ ضرب كود جر علامة جرى كسره مقدره على اخرهامنع من ظهورها استغال المحل بحركة الحكاية (و) حرف عطف (اضربْ ) معطوف مريڠ ضرب كود جر علامة جرى كسره مقدره على اخرها من ظهورها استغال المحل بحركة الحكاية

فَالْمَاضِي مَفْتُوحُ اَلْآخِرِ أَبَدًا. وَالْأَمْرُ  مَجْزُوْمٌ أَبَدًا. وَالْمُضَارِعُ : مَا كَانَ فِي أَوَّلِهِ إِحْدَى اَلزَّوَائِدِ اَلْأَرْبَعِ اَلَّتِي يَجْمَعُهَا قَوْلُكَ "أَنَيْتُ" وَهُوَ مَرْفُوعٌ أَبَدًا، حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْهِ نَاصِبٌ أَوْ جَازِمٌ.

(ف) فاصحة (الماضىِ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه مقدره ياء موجوده دليلى جر (مفتوحُ) دادى خبرى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر ، مفتوح مضاف (الاخرِ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر (ابدًا) ظرف زمان كود نصب علامة نصبى فتح ظاهر ، (و) حرف عطف (الامرُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (مجزومٌ) دادى خبرى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (ابدًا) ظرف زمان كود نصب علامة نصبى فتح ظاهر ، (و) حرف استئناف، (المضارعُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (ما) كلمه اسم موصول مبنى سكون محل رفع دادى خبر مبتدا (كانَ) كلمه فعل ماضى ناقص عملى كان رفع اسم نصب خبر مبنى فتح ظاهر (فى) حرف جر (اولِ) مجرور كود جر علامة جرى كسره ظاهر ، اول مضاف (هِ) مبنى كسره محل جر مضاف اليه سجمله جر مجرور تعلوق مريڠ اسم كڠ دين بواڠ تقديرى كائنًا محل نصب دادى خبر كان مقدم، (إحدَى) دادى اسم كان مؤخر كود رفع علامة رفعنى ضمه مقدره الف موجوده دليلى جبار احدى مضاف (الزوائدِ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر (الاربعِ) دادى صفة سكيڠ الزوائد كود جر علامة جرى كسره ظاهر، (التى) كلمه اسم موصول مبنى سكون محل جر دادى صفة سكيڠ الزوائد (يجمعُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرينته كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (ـهَا) مبنى سكون محل نصب دادى مفعول (قولُ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر قول مضاف (كَ) للخطاب مبنى فتح محل جر مضاف اليه سجمله فعل فاعل لا محل لها من الاعراب صلة موصول وهو التى الرابط بينهما الضمير فى يجمعها، (انيتُ) مبنى ضمه محل نصب دادى مقول القول سكيڠ  قولك (و) حرف استئناف،(هوَ) كلمه اسم ضمير بارز منفصل مبنى فتح محل رفع دادى مبتدا (مرفوعٌ) دادى خبرى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (ابدًا) ظرف زمان كود نصب علامة نصبى فتح ظاهر (حتَى) حرف نصب حرف غايه (يدخلَ) كلمه فعل مضارع دى فرينته نصب علامة نصبى فتح ظاهر (على) حرف جر (ـهِ) مبنى سكون محل جر مجرور سجمله جر مجرور تعلوق مريڠ يدخل (ناصبٌ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر ،،،،، (اوْ) حرف عطف (جازمٌ) معطوف مريڠ ناصب كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر.

فَالنَّوَصِبُ عَشَرَةٌ ، وَهِيَ : أَنْ، وَلَنْ، وَإِذَنْ، وَكَيْ، وَلَامُ كَيْ، وَلَامُ اَلْجُحُودِ، وَحَتَّى، وَالْجَوَابُ بِالْفَاءِ، وَالْوَاوِ، وَأَوْ

(ف)فاصحة (النواصبُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (عشرةٌ) دادى خبرى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (و) حرف استئناف، (هىَ)كلمه اسم ضمير بارز منفضل مبنى فتح محل رفع دادى مبتدا (انْ) مبنى سكون محل رفع دادى خبر مبتدا (و)حرف عطف (لنْ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ ان(و)حرف عطف (اذَنْ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ ان (و)حرف عطف (كىْ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ ان (و) حرف عطف (لامُ) معطوف مريڠ محلى ان كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر ، لام مضاف (كىْ) مبنى سكون محل جر مضاف اليه  (و) حرف عطف (لامُ) معطوف مريڠ محلى ان كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر ، لام مضاف (الجحودِ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر (و)حرف عطف (حتَّى ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ ان (و)حرف عطف (الجوابُ) معطوف مريڠ محلى ان كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (ب) حرف جر (الفاءِ) مجرور كود جر علامة جرى كسره ظاهر (و) حرف عطف (الواوِ) معطوف مريڠ الفاء كود جر علامة جرى كسره ظاهر (و)حرف عطف (اوْ ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ ان

وَالْجَوَزِمُ  ثَمَانِيَةَ عَشَرَ وَهِيَ : لَمْ، وَلَمَّا، وَأَلَمْ، وَأَلَمَّا، وَلَامُ اَلْأَمْرِ وَالدُّعَاءِ، وَ"لَا" فِي اَلنَّهْيِ وَالدُّعَاءِ، وَإِنْ وَمَا وَمَنْ وَمَهْمَا، وَإِذْمَا ، وَأَيٌّ وَمَتَى، وَأَيْنَ وَأَيَّانَ، وَأَنَّى، وَحَيْثُمَا، وَكَيْفَمَا، وَإِذًا فِي اَلشِّعْرِ خاصة.

(و) حرف استئناف، (الجوازمُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (ثمانيةَعشرَ) كلمه اسم عدد مركب مبنى فتح محل رفع دادى خبر مبتدا (و) حرف استئناف، (هىَ) كلمه اسم ضمير بارز منفصل مبنى فتح محل رفع دادى مبتدا (لمْ) مبنى سكون محل رفع دادى خبر مبتدا (و)حرف عطف (لمَا ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (الم) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (المَا ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و) حرف عطف (لَامُ) معطوف مريڠ لم كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر لام مضاف (الامرِ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر (و) حرف عطف (الدعاءِ) معطوف مريڠ الامر كود جر علامة جرى كسره ظاهر (و) حرف عطف (لاَ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (فى) حرف جر (النهى) مجرور كود جر علامة جرى كسره ظاهر سجمله جر مجرور تعلوق مريڠ اسم لا كڠ دين بواڠ تقديرى [المُسْتَعملةُ فى النهى] (و) حرف عطف (الدعاء) معطوف مريڠ النهى كود جر علامة جرى كسره ظاهر (و)حرف عطف (إن) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (ما)مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف  (منْ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (ومهما ) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (اذما) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (اىٌّ) معطوف مريڠ محلى لم كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (و)حرف عطف (ايانَ)مبنى فتح محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف  (اينَ) مبنى فتخ محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (أنى) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (حيثما) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (كيفما) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (و)حرف عطف (ادًا) مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ لم (فى) حرفجر (الشعر) مجرور كود جر علامة جرى كسره ظاهر سجمله جر مجرور تعلوق مريڠ اسم ادًا كڠ دين بواڠ تقديرى [الواقعةُ  فى الشعر] (خاصةً) دادى حالى كود نصب علامة نصبى فتح ظاهر.

باب مرفوعات الاسماء

(بابُ) دادى خبر مبتدا محدوف تقديرى [اى هذا باب] كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر باب مضاف (مرفوعاتِ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر ، مرفوعات مضاف (الاسماءِ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر

اَلْمَرْفُوعَاتُ سَبْعَةٌ وَهِيَ : اَلْفَاعِلُ، وَالْمَفْعُولُ اَلَّذِي لَمْ يُسَمَّ فَاعِلُهُ، وَالْمُبْتَدَأُ، وَخَبَرُهُ، وَاسْمُ "كَانَ" وَأَخَوَاتِهَا، وَخَبَرُ "إِنَّ" وَأَخَوَاتِهَا، وَالتَّابِعُ لِلْمَرْفُوعِ، وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ :اَلنَّعْتُ، وَالْعَطْفُ، وَالتَّوْكِيدُ، وَالْبَدَلُ.

(المرفوعاتُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (سبعةٌ) دادى خبرى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (و) حرف إستئناف (هىَ) كلمه اسم ضمير بارز منفصيل مبنى فتح محل رفع دادى مبتدا (الفاعل) دادى خبرى كود رفع علامة رفع نى ضنه ظاهر، (و) حرف عطف (المفعولُ) معطوف مريڠ الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (الذى) كلمه اسم موصول مبنى سكون محل رفع دادى صفة سكيڠ المفعول (لمْ) حرف نفى حرف جزم حرف قلب (يسمَّ) كلمه فعل مضارع مجهول دى فرينتاه سيريڠ لم دى فرنتاه جزم علامة جزمى حدف (فاعلُ) دادى نائب الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر فاعل مضاف (هُ) مبنى ضمه محل جير مضاف اليه سجمله فعل نائب الفاعل لا محل لهل من الاعراب صلة موصول  وهو الذى  الرابط بينهما الضمير فى فاعله (و) حرف عطف (المبتداءُ) معطوف مريڠ الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (و) حرف عطف (خبرُ) معطوف مريڠ الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، خبر مضاف (هُ) مبنى ضمه محل جر مضاف اليه (و) حرف عطف (اسمُ) معطوف مريڠ الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر اسم مضاف (كانَ) مبنى فتح محل جر مضاف اليه (و) حرف عطف (اخواتُ) معطوف مريڠ الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، اخوات مضاف (ها) مبنى سكون محل جر مضاف اليه (و) حرف عطف (خبرُ) معطوف مريڠ الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر خبر مضاف (إنَّ) مبنى فتح محل جر مضاف اليه (و) حرف عطف (اخواتُ) معطوف مريڠ الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، اخوات مضاف (ها) مبنى سكون محل جر مضاف اليه (و) حرف عطف (التابع) معطوف مريڠ الفاعل كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (لِ) حرف جر (المرفوع) مجرور كود جر علامة جرى كسره ظاهر، (و) حرف استئناف (هوَ) كلمه اسم ضمير بارز منفصل مبنى فتح محل رفع دادى مبتدا (اربعةُ) دادى خبرى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، اربعة مضاف (اشياءَ) مضاف اليه كود جر علامة جرى فتح كرنا اوليه ڮاڮنتين سكيڠ كسره سبب كلمه اسم غير منصريف علاتى الف تأنيث ممدوده، (النعتُ) دادى بدل سكيڠ اربعة كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر،(و) حرف عطف (العطفُ) معطوف مريڠ النعت كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر  (و) حرف عطف (التوكيدُ) معطوف مريڠ النعت كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر (و) حرف عطف (البدلُ) معطوف مريڠ النعت كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر.

باب الفاعل
اَلْفَاعِلُ : هُوَ الْاِسْمُ اَلْمَرْفُوعُ اَلْمَذْكُورُ قَبْلَهُ فِعْلُهُ. وَهُوَ عَلَى قِسْمَيْنِ ظَاهِرٍ، وَمُضْمَرٍ.
فَالظَّاهِرُ نَحْوُ قَوْلِكَ : قَامَ زَيْدٌ، وَيَقُومُ زَيْدٌ، وَقَامَ الزَّيْدَانِ، وَيَقُومُ الزَّيْدَانِ، وَقَامَ الزَّيْدُونَ، وَيَقُومُ الزَّيْدُونَ، وَقَامَ اَلرِّجَالُ، وَيَقُومُ اَلرِّجَالُ، وَقَامَتْ هِنْدٌ، وَتَقُومُ هِنْدٌ، وَقَامَتْ الْهِنْدَانِ، وَتَقُومُ الْهِنْدَانِ، وَقَامَتْ الْهِنْدَاتُ، وَتَقُومُ الْهِنْدَاتُ، وَقَامَتْ اَلْهُنُودُ، وَتَقُومُ اَلْهُنُودُ، وَقَامَ أَخُوكَ، وَيَقُومُ أَخُوكَ، وَقَامَ غُلَامِي، وَيَقُومُ غُلَامِي، وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ.
وَالْمُضْمَرُ اِثْنَا عَشَرَ، نَحْوُ قَوْلِكَ : "ضَرَبْتُ، وَضَرَبْنَا، وَضَرَبْتَ، وَضَرَبْتِ، وَضَرَبْتُمَا، وَضَرَبْتُمْ، وَضَرَبْتُنَّ، وَضَرَبَ، وَضَرَبَتْ، وَضَرَبَا، وَضَرَبُوا، وضربن".
(بابُ) دادى خبر مبتدا محدوف كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر ، باب مضاف (الفاعلِ) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر، (الفاعلُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر،(هوَ) كلمه اسم ضمير بارز منفصل مبنى فتح محل رفع دادى مبتدا ثانى (الاسمُ) دادى خبر مبتدا ثانى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (المرفوعُ) دادى صفة سكيڠ الاسم كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (المذكورُ) دادى صفة ثانى سكيڠ الاسم كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (قبلَ) ظرف مكان كود نصب علامة نصبى فتح ظاهر قبل مضاف (هُ) مبنى ضمه محل جر مضاف اليه (فعلُ) دادى نائب الفاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر فعل مضاف (هُ) مبنى ضمه محل جر مضاف اليه. (و) حرف استئناف (هوَ) كلمه اسم ضمير بارز منفصل مبنى فتح محل رفع دادى مبتدا (على) حرف جر (قسمين) مجرور كود جر علامة جرى إيا كرنا اوليه ݢݢنتين سكيڠ كسره سبب كلمه اسم تثنية والنون عواض عن التنوين فى الاسم المفراد سجمله جر مجرور تعلوق مريڠ اسم كڠدين بواڠ تقديرى كائنٌ محل رفع دادى خبر مبتدا (ظاهرٍ) دادى بدل سكيڠ قسمين كود جر علامة جرى كسره ظاهر، (و) حرف عطف (مضمرٍ) معطوف مريڠ ظاهر كود جر علامة جرى كسره ظاهر، (ف) فاصحة (الظاهرُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (نحو) دادى خبرى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، نحو مضاف (قول) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر، قول مضاف (كَ) مبنى فتح محل جر مضاف اليه ، (قامَ) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (زيدٌ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، سجمله فعل فاعل محل نصب دادى مقول القول سكيڠ قولك، (و) حرف عطف (يقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (زيدٌ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، 
سجمله فعل فاعل محل نصب معطوف مريڠ جملهى قام زيدٌ (و) حرف عطف (قام) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (الزيدانِ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى الف سبب كلمه اسم تثنيه والنون عواض عن التنوين فى الاسم المفراد، ، (و) حرف عطف (يقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر،(الزيدانِ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى الف سبب كلمه اسم تثنيه والنون عواض عن التنوين فى الاسم المفراد، (و) حرف عطف (قام) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (زيدونَ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى واو سبب كلمه اسم جمع مذكر سالم والنون عواض عن التنوين فى الاسم المفراد ، (و) حرف عطف (يقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (زيدونَ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى واو سبب كلمه اسم جمع مذكر سالم والنون عواض عن التنوين فى الاسم المفراد ، (و) حرف عطف (قام) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (الرجالُ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (و) حرف عطف (يقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (الرجالُ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (و) حرف عطف (قام) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (ت) علامة تأنيث (هندٌ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (و) حرف عطف (تقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (هندٌ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (و) حرف عطف (قام) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (ت) علامة تأنيث (هندان) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى الف،  (و) حرف عطف (تقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (هندان) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى الف،  (و) حرف عطف (قام) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (ت) علامة تأنيث (هندات) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (و) حرف عطف (تقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (هندات) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (و) حرف عطف (قام) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (ت) علامة تأنيث (هنودُ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، ،  (و) حرف عطف (تقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (هنودُ) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (و) حرف عطف (قامَ) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (اخو) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى واو، سبب كلمه اسم اسماء الخمسة اخو مضاف (ك) مبنى فتح محل جر مضاف اليه ، (و) حرف عطف (يقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر،  (اخو) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى واو، سبب كلمه اسم اسماء الخمسة اخو مضاف (ك) مبنى فتح محل جر مضاف اليه(و) حرف عطف (قامَ) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر (غلامى) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى مقدره على ما قبل ياء المتكلم منع من ظهورها استغال المحل بحركة المناسبة لياء المتكلم غلامِ مضاف ياء المتكلم مبنى سكون محل جر مضاف اليه ، سجمله فعل فاعل محل نصب معطوف مريڠ جملهى قام زيدٌ (و) حرف عطف (يقومُ) كلمه فعل مضارع بوتن دى فرنتاه كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (غلامى) دادى فاعلى كود رفع علامة رفعنى ضمه مقدره على ما قبل ياء المتكلم موجوده غلامِ مضاف ياء المتكلم مبنى سكون محل جر مضاف اليه ، سجمله فعل فاعل محل نصب معطوف مريڠ جملهى قام زيدٌ (و) حرف عطف (ما) كلمه اسم موصول مبنى سكون محل رفع معطوف مريڠ جملهى قام زيدٌ (اشبهَ) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر فاعلى ضمير هو ي على ما سجمله فعل فاعل لا محل لها من الاعراب صلة موصولٍ وهو ما الرابط بينهما الضمير فيه (ذا) كلمه اسم اشاره مبنى سكون محل نصب دادى مفعول (لام) للبعد (كاف) حرف خطاب لا محل لها من الاعراب.
(و) حرف استئناف (المضمرُ) دادى مبتدا كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، (اثنا عشرَ) كلمه اسم عداد مركب مبنى فتح محل رفع دادى خبرى (نحو) دادى خبر مبتدا محدوف كود رفع علامة رفعنى ضمه ظاهر، نحو مضاف  (قول) مضاف اليه كود جر علامة جرى كسره ظاهر، قول مضاف (كَ) مبنى فتح محل جر مضاف اليه، (ضربْ) كلمه فعل ماضى مبنى فتح مقدره اتوا مبنى على السكون العارض (تُ) مبنى ضمه محل رفع دادى فاعلى، (و) حرف عطف (ضربْ) فعل ماضى (نا) مبنى سكون محل رفع دادى فاعلى (و) حرف عطف (ضربْ) فعل ماضى (تَ) مبنى فتح محل رفع دادى فاعلى (و) حرف عطف (ضربْ) فعل ماضى (تِ) مبنى كسره محل رفع دادى فاعلى (و) حرف عطف (ضربْ) فعل ماضى (تُ) مبنى ضمه محل رفع دادى فاعلى (ميم) حرف عماد (الف) حرفٌ دالٌ على التثنيه (و) حرف عطف (ضربْ) فعل ماضى (تُ) مبنى ضمه محل رفع دادى فاعلى (ميم) علامة جمع مذكر (و) حرف عطف (ضربْ) فعل ماضى (تُ) مبنى ضمه محل رفع دادى فاعلى (نون) علامة جمع نسوة (و) حرف عطف (ضربَ) كلمه فعل ماضى مبنى فتح ظاهر فاعلى ضمير هو يعد على زيد (و) حرف عطف (ضربا) كلمه فعل ماضى مبنى فتح مقدرة إڠاتسى اخرى كرنا اراه حركة مناسبة الف ، الف ضمير تثنيه فاعلى ضمير هما يعد على الزيدان (و) حرف عطف (ضربُوا) كلمه فعل ماضى مبنى فتح مقدرة إڠاتسى اخرى كرنا اراه حركة مناسبة واو، واو علامة جمع مذكر سالم، فاعلى ضمير هم يعدون على زيدون، الف تندا فمبيدا انترا واو جمع لن واو عطف  (و) حرف عطف (ضربْ) فعل ماضى مبنى فتح مقدرة (ن) علامة جمع مؤنث فاعلى ضمير هن تعدن على هندات 

Selanjutnya klik disini


Sabtu, 15 Juni 2019

Bina


Kalimah fiil itu ada yang shohih ada yang mu'tal ada yang mudlo'af, kalimah yang sohih ialah kalimah yang huruf asalnya tidak ada huruf ilatnya, di fa fiil tidak ada huruf ilat, di 'ain fiil tidak ada huruf 'ilat, dan di lam fiil tidak ada huruf ilat, huruf ilat itu ada tiga
1.alif  ا   = الألف
2. Wau و = الواو
3. iya ي = الياء
Sedangkan fiil mu'tal ialah apa yang salah satu asalnya berupa huruf ilat adakalanya huruf ilatnya di fa fiil, atau di'ain fiil atau juga dilam fiil. Bila huruf ilatnya berada di fa fiil disebut mu'tal fa atau bina mitsal contohnya
وَجُهَ - يَوْجُهُ . وَعَدَ - يَعِدُ. وَمق - يمق . وَجِل - يوجل.
Ada huruf ilat berupa و di وَجُهَ، وعد، ومق، وجل
Bila huruf ilatnya berada di'ain fiil disebut mu'tal ain atau bina ajwaf contoh nya ُقَالَ - يَقُوْلُ .صَانَ - يَصُون، . بَاعَ - يَبِيْع . ada huruf ilat berupa و di قال asalnya َقَوَل qowala َصَان asalnya َصَوَن showana dan huruf ilat berupa ي di باع asalnya َبَيَع baya'a.
Bila huruf ilatnya berada di lam fiil disebut mu'tal lam atau bina naqish contoh nya غَزَا - يَغْزُو ، رَمَى - يَرْمِى ، ada huruf ilat berupa و di غزا asalnya َغَزَو، dan huruf ilat berupa ي di رمى asalnya َرَمَي  romaya.
Bila huruf ilatnya berada bukan di fa fiil atau 'ain fiil atau lam fiil maka tidak disebut fiil mu'tal seperti pada gambar dibawah

Berikut tasrif bina shosih dan bina lainnya







Senin, 20 Mei 2019

Sittin pembahasan haji



(Haji itu hukumnya wajib) seumur hidup satu kali (bagi orang yang mampu terhadapnya menempuhnya) hukum-hukum haji) yakni haji (diketahui didalam kitab-kitab Fiqih) bagi orang yang bertanya tentang hukum-hukum haji dan mau mempelajarinya, dan semisal haji pada apa yang telah disebutkan ialah umroh. Syarat wajib keduanya ialah: islam, mukalaf, merdeka, kuasa. Kuasa itu ada dua macam, salah satunya ialah kuasa melakukannya, dan hal itu ada beberapa syarat: 1. Adanya bekal yang dibutuhkan bagi pelaksana haji diperjalanannya dalam pemberangkatan dan kepulangannya. 2. Adanya kendaraan bagi orang yang antara tempat dia dan mekah berjarak dua marhalah, dan bagi orang yang lemah untuk jalan kaki [walau jaraknya kurang dari 2 marhalah] apabila dia menemui kepayahan yang sangat ketika mengendarai kendaraan [seperti unta, bigol, himar, motor] maka disyaratkan adanya sekdop [bagasi unta] dikendaraannya yang mana ia duduk disitu dan temannya disebelahnya. 3. Jalannya aman dengan sangkaan yang kuat dengan sekiranya apa yang layak untuk bepergian, wajib menaiki kapal laut bila mendominasi ( kemungkinan besar adanya ) keselamatan, disyaratkan adanya air dan bekal ditempat yang lumrah membawanya dari tempat itu dengan harga pasaran, yaitu kadar yang layak baginya diwaktu dan tempat itu, disyaratkan bagi perempuan ketika berangkat haji agar didampingi suaminya atau mahramnya atau bersama wanita-wanita yang dipercaya atau budaknya yang dipercaya, wajib memberi upah pada mahram apabila ia tidak mau menemani kalau tidak diberi upah. 4. Ketika berada dikendaraan tidak merasa sangat payah, bagi orang buta ketika haji, mesti ada yang menuntun dan orang buta itu harus memberi upah /imbalan bila orang yang nuntun itu tidak bersedia tanpa upah, dan disyaratkan adanya upah itu lebihan dari utangnya dan lebihan dari biaya orang yang wajib ia biayai dari masa pergi dan pulangnya. dan lebihan dari (biaya untuk) rumahnya, dan biaya budak yang ia perlukan untuk membantunya. Disyaratkan untuk haji pula, yaitu memungkinkannya berjalan, ialah berjalan menuju haji dengan berjalan yang umum dikenal. Macam kedua ialah kuasa berhasilnya haji dengan orang lain, barangsiapa mati sedangkan dalam tanggungan dia ada haji dan umroh maka haji itu wajib dikerjakan untuk nya dari harta peninggalannya. Barangsiapa tidak mampu dari haji atau umroh oleh dirinya dan ia dapat memberi upah ke orang yang akan berhaji untuk nya, maka haji itu wajib padanya. dan disyaratkan adanya upah itu ialah lebihan dari apa yang telah dulu disebut, selain biaya orang yang wajib ia biayai dimasa pergi dan pulangnya.

Syarat sah keduanya (haji dan umroh) ialah islam, syarat sah melangsungkan keduanya: islam, pintar (orang atau bocah yang sudah bisa membedakan apa yang baik dan apa yang buruk). Syarat berlakunya keduanya dari haji islam dan umrohnya yang melakukannya ialah orang mukalaf yang merdeka (bukan budak). Rukun-rukun haji ada lima [ada enam, yang keenamanya tartib rukun yang besar, ket khasyiah] 1 ihram serta niat, 2 wuquf. 3. Thawaf, 4. Sa'i,  5. Bercukur. Rukun-rukun umroh ialah: ihram, thawaf, sa'i,  dan bercukur. [Rukun lainya tartib ]. Sebagian wajib-wajib haji ialah ihrom dari miqot, lempar jumrah-jumrah, bermalam dimuzdalifah, bermalam dimina pada malam-malam tasyriq, dan thawaf wada'. Sebagian dari sunah-sunah haji ialah thowaf qudum, bacaan talbiyah diselama ihromnya selain dithowaf qudum, selain sa'i setelah thowaf qudum, thowaf ifadloh, dan wada', lafadznya talbiyah ialah: 

ﻟَﺒَّﻴْﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ، ﻟَﺒَّﻴْﻚَ  ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻚَ ﻟَﺒَّﻴْﻚَ، ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻭَﺍﻟﻨِّﻌْﻤَﺔَ ﻟَﻚَ ﻭَﺍﻟْﻤُﻠْﻚَ ﻻَ ﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻚَ

LABBAIKAOLLOHUMMA LABBAIK, LABBAIKA LA SYARIIKALAKA LABBAIK, INNAL HAMDA WANNI'MATA LAKA WALMULKA LAA SYARIIKA LAK

“Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.” 

Bila dia (orang yang bertalbiyah) melihat apa yang ia merasa takjub maka ia berkata 

لَبَّيْكَ اِنَّ الْعَيْشَ عَيْشَ الْاٰخِرَةِ

LABBAIK INNAL 'AISYA 'AISYAL AAKHIROH 

saya memenuhi panggilan mu, sesungguhnya kehidupan yang senatiasa senang ialah kehidupan di desa ahirat (dalam surga) 

Apabila ia selesai dari bacaan talbiyah maka ia baca solawat atas nabi SAW, dan mencari perlindunga kepada Allah dari neraka, meminta padanya akan surga dan keridloannya.

Kami meminta padamu yaAllah agar engkau memberi perlindungan pada kami dari neraka dan memasukkan kami kesurga darul qoror dan engkau rido pada kami dengan rahmat darimu wahai tuhan yang maha perkasa maha pengampun, bahagiakanlah kami dengan melihat dzat mu yang mulia beserta para kekasihmu yang bersih-bersih yang pilihan-pilihan. Semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada baginda kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya dan Allah mecurahkan keselamatan. 


Jumat 16 Oktober 2020 M

Sittin pembahasan zakat


(Zakat itu wajib pada apa yang wajib didalamnya) kewajiban zakat dari hewan ialah: unta, sapi dan kambing. Dari buah-buahan ialah: kurma dan anggur. Dari biji-bijian ialah: gandum, biji gandum/jagung, kacang ful, padi dan selainnya dari bahan makanan pokok, makanan bukan dalam keadaan darurat. Dari perhiasan ialah: Emas dan perak. Dan dari harta benda selain emas perak ialah: barang-barang dagangan. Syarat wajib zakat ada 5 perkara: Islam, merdeka, hak milik penuh, sudah setahun dimiliki, kecuali pertambangan emas perak dan harta karun digembalakan/ diumbar setahun dalam unta, sapi dan kambing. (Dengan nisobnya zakat) yakni zakat (yang diketahui) dalam kitab-kitab fiqih bagi yang meminta/bertanya akan keterangan nisob zakat dan mempelajarinya,
Awalnya nisob pada unta ialah 5 ekor unta, dalam 5 ekor unta tersebut zakatnya domba jad'ah yaitu domba atau biri-biri yang sudah berumur satu tahun, atau dua kambing berumur 2 tahun. Pada sepuluh unta zakatnya dua domba. Pada 15 unta zakatnya 3 domba. Pada 20 unta zakatnya 4 domba. Pada 25 unta zakatnya satu unta binta makhod [ unta sudah berumur setahun]. Pada 36 unta zakatnya satu unta binta labun [unta sudah berumur 2 tahun]. Pada 46 unta zakatnya satu unta hiqqoh [unta sudah berumur 3 tahun]. Pada 61 unta zakatnya satu unta jad'ah [unta sudah berumur 4 tahun]. Pada 76 unta zakatnya dua unta binta labun. Pada 91 unta zakatnya dua unta hiqqoh. Pada 121 unta zakatnya tiga unta binta labun, kemudian pada tiap 40- an adalah unta binta labun, dan pada tiap 50-an adalah unta hiqqoh. Unta bintu makhod ialah unta berumur setahun, unta binta labun ialah unta berumur dua tahun, unta hiqqoh berumur tiga tahun, unta zad'ah berumur empat tahun. Awalnya nisob pada sapi adalah 30, dan pada 30 itu zakatnya adalah sapi tabi', sapi berumur setahun, kemudian pada tiap 30-an adalah sapi tabi' dan pada tiap 40-an sapi masinnah, sapi yang berumur dua tahun. Awal nisob pada kambing ialah 40, pada 40 kambing tersebut zakatnya satu ekor kambing, pada 121 zakatnya dua kambing, pada 201 zakatnya tiga kambing, pada 400 zakatnya empat kambing, kemudian pada tiap seratusan zakatnya satu kambing. Awal nisob pada buah-buahan dan biji-bijian yang keduanya telah lalu ialah 5 wasaq (sekitar 12 kwintal padi ada juga yang mengatakan  1.323,132 kg padi / 652,8 kg beras, ada juga yang bilang 720 kg beras), yaitu 1600 kati baghdad, satu kati baghdad ialah 128 dan empat pertujuh (4/7) dirham, kira-kira (nisob) itu dengan takaran mesir ialah enam dan seperempat takaran mesir, yang jadi hitungan nisob pada kurma dan anggur ialah bila kurma telah jadi kurma kering anggur telah jadi anggur kering, bila belum seperti itu maka kurma setengah matang atau anggur basah, buah atau bijian yang disimpan bersama kulitnya seperti padi dan gandum maka nisobnya 10 wasaq, kemudian bila tanaman buah atau bijian itu diairi dengan penyiraman manual, kincir angin, timba katrol, kincir air, atau dengan air yang dapat beli, atau pemberian orang, atau air hasil rampasan, maka wajib zakat padanya separuh perpuluh  (5%), bila pengairannya dengan semisal irigasi, atau dari hujan maka wajib zakat padanya seperpuluh [1/10] , (10%).

Awalnya nisob pada Emas ialah 20 mitsqol (sekitar 85 gram pendapat lain 96 gram, / 77 gram ) nisob pada perak 200 dirham dengan timbangan mekah (672 gram, pendapat lain 543 gram . Wajib pada kedua nya zakatnya seperempat perpuluh (2,5%), wajib pada seperempat perpuluh itu pada yang diharamkan dan dimakruhkan dari perhiasan dan lainnya, sebagian dari yang diharamkan terhadap laki-laki dan perempuan ialah ( menggunakan) bejana terbuat dari emas atau perak, sebagian yang diharamkan ialah perhiasan wanita dipakai oleh laki-laki, haram terhadap laki-laki memakai perhiasan dari emas kecuali hiasan hidung, jari tangan, dan gigi, halal bagi laki-laki perhiasan dari perak berupa cincin, perhiasan alat perang seperti pedang kecuali untuk menghambur- hamburkan saja, dan halal perhiasan untuk mushaf, haram terhadap wanita menghiasi alat perangnya (dengan emas atau perak), berlebih-lebihan dalam perhiasan seperti pada gelang kaki yang beratnya 200 dinar. Sebagian dari apa yang wajib padanya seperempat perpuluh adalah pertambangan emas, yaitu emas perak yang dikeluarkan dari pertambangan dari tanah yang mubah, atau tanah milik sendiri orang yang menggalinya. Wajib pada Rikaz (harta terpendam) seperlima (1/5) rikaz ialah emas perak / harta yang ada dari buatan orang jahiliyah ( zaman sebelum islam) terdapat dalam tanah milik sendiri yang digarap atau tanah mati (tanah yang tidak ada pemiliknya) atau penggali kubur yang melampau batas atau kuburan jahiliyah atau rumah kosongnya orang jahiliyah. Wajib seperempat perpuluh pada barang/harta benda yang tercampur dengan niat dagang dengan usahanya dengan penukaran seperti pembelian atau khulu' nisob nya itu dihitung dengan ahir tahun. Wajib zakat fitrah dengan sebab mendapati bagian ahir dari bulan romadon beserta bagian awal dari bulan syawal terhadap orang memiliki apa yang lebih dari bahan makanan dia dan bahan pakan orang yang wajib menafkahinya pada malam hari raya  dan siang harinya, dan apa yang lebih dari selengkap pakaiannya dan bagi orang yang wajib menafkahinya dan apa yang lebih dari rumahnya dan pembantu yang layak baginya dan ia butuh pada pembantu itu, bukan dari hutang.

Zakat fitrah itu ialah satu sho' bahan utama makanan pokok negara orang yang mengeluarkan zakat darinya, barangsiapa  wajib padanya zakat fitrah dirinya maka ia wajib menzakati fitrah orang yang wajib ia nafkahi, tatapi orang islam tidak wajib memfitrahi orang kafir yang wajib ia nafkahi, dan seorang anak tidak wajib memfitrahi istri bapaknya (ibu tiri) dan yang dilahirkan oleh istri bapaknya itu, tidak wajib fitrah terhadap budak dan tidak pula terhadap orang kafir, kecuali memfitrahi pada orang islam yang nafkahnya kewajiban orang kafir, dan budak muba'ad yang sebagian darinya merdeka/bukan budak, wajib padanya memfitrahi kira-kira apa yang merdeka pada nya bilamana tidak ada antara dia dan tuannya suatu giliran, bila ada giliran maka zakat fitrahnya wajib terhadap orang yang terkena masa wajib pada gilirannya. Bagi orang yang menafkahi orang banyak sedangkan ia tidak dapat memenuhi zakat untuk semuanya maka ia mendahulukan fitrah untuk dirinya kemudian istrinya kemudian anaknya yang kecil kemudian ayah lalu ibu bila mereka berdua membutuhkannya kemudian anaknya yang besar.


Selanjutnya bahas puasa klik disini

Sabtu, 04 Mei 2019

Fathul muin bab puasa

ﺑﺎﺏ ﺍﻟﺼﻮﻡ
ﻭﻫﻮ ﻟﻐﺔ : ﺍﻻﻣﺴﺎﻙ . ﻭﺷﺮﻋﺎ : ﺇﻣﺴﺎﻙ ﻋﻦ ﻣﻔﻄﺮ ﺑﺸﺮﻭﻃﻪ ﺍﻵﺗﻴﺔ . ﻭﻓﺮﺽ ﻓﻲ ﺷﻌﺒﺎﻥ، ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻬﺠﺮﺓ . ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺧﺼﺎﺋﺼﻨﺎ، ﻭﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ‏( ﻳﺠﺐ ﺻﻮﻡ ‏) ﺷﻬﺮ ‏( ﺭﻣﻀﺎﻥ‏) ﺇﺟﻤﺎﻋﺎ، ﺑﻜﻤﺎﻝ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ، ﺃﻭ ﺭﺅﻳﺔ ﻋﺪﻝ ﻭﺍﺣﺪ، ﻭﻟﻮ ﻣﺴﺘﻮﺭﺍ ﻫﻼﻟﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻐﺮﻭﺏ، ﺇﺫﺍ ﺷﻬﺪ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ، ﻭﻟﻮ ﻣﻊ ﺇﻃﺒﺎﻕ ﻏﻴﻢ، ﺑﻠﻔﻆ : ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻧﻲ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻬﻼﻝ، ﺃﻭ ﺃﻧﻪ ﻫﻞ . ﻭﻻ ﻳﻜﻔﻲ : ﻗﻮﻟﻪ : ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻏﺪﺍ ﻣﻦ ﺭﻣﻀﺎﻥ. ﻭﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﻋﻠﻰ ﺷﻬﺎﺩﺗﻪ ﺇﻻ ﺑﺸﻬﺎﺩﺓ ﻋﺪﻟﻴﻦ، ﻭﺑﺜﺒﻮﺕ ﺭﺅﻳﺔ ﻫﻼﻝ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﺑﺸﻬﺎﺩﺓ ﻋﺪﻝ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻳﻪ - ﻛﻤﺎ ﻣﺮ - ﻭﻣﻊ ﻗﻮﻟﻪ ﺛﺒﺖ ﻋﻨﺪﻱ : ﻳﺠﺐ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﻤﺮﺋﻲ ﻓﻴﻪ،
Puasa menurut bahasa ialah menahan diri dan menurut syara agama ialah menahan diri dari yang membatalkan dengan syarat-syarat yang akan datang nanti. puasa difardhukan di bulan Sya'ban di tahun kedua setelah hijrahnya nabi, Puasa merupakan bagian dari keistimewaan kita umat Islam dan bagian dari yang diketahui dari agama dengan keharusan. wajib puasa bulan Romadhon secara ijma' dengan sebab sempurnanya bulan Sya'ban 30 hari atau dengan satu orang adil melihat Hilal, walaupun keadilan orang itu tertutup melihat Hilal setelah terbenamnya matahari apabila ia bersaksi atas melihat Hilal di hadapan kadi /pemutus hukum walau serta mendung menutupi Hilal, dengan kata-kata: Aku bersaksi Sesungguhnya aku telah melihat Hilal atau ia berkata sesungguhnya bulan itu sudah tanggal 1 dan tidak cukup perkataan dia dengan ucapan: Aku bersaksi sesungguhnya besok itu bagian dari bulan Romadhon dan tidak diterima persaksian orang Adil yang melihat Hilal itu kecuali dengan saksi 2 orang adil dan ditetapkan melihat Hilal itu dihadapan kodi dengan orang adil seperti apa yang sudah lewat dan beserta perkataan kodi: "ditetapkan Hilal padaku" maka wajiblah puasa atas seluruh ahli daerah penglihat Hilal di daerah itu,

ﻭﻛﺎﻟﺜﺒﻮﺕ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ : ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﻤﺘﻮﺍﺗﺮ ﺑﺮﺅﻳﺘﻪ، ﻭﻟﻮ ﻣﻦ ﻛﻔﺎﺭ، ﻻﻓﺎﺩﺗﻪ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﻀﺮﻭﺭﻱ، ﻭﻇﻦ ﺩﺧﻮﻟﻪ ﺑﺎﻻﻣﺎﺭﺓ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﺗﺘﺨﻠﻒ ﻋﺎﺩﺓ: - ﻛﺮﺅﻳﺔ ﺍﻟﻘﻨﺎﺩﻳﻞ ﺍﻟﻤﻌﻠﻘﺔ ﺑﺎﻟﻤﻨﺎﺋﺮ - ﻭﻳﻠﺰﻡ ﺍﻟﻔﺎﺳﻖ ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﻭﺍﻻﻧﺜﻰ : ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﺮﺅﻳﺔ ﻧﻔﺴﻪ، ﻭﻛﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻋﺘﻘﺪ ﺻﺪﻕ ﻧﺤﻮ ﻓﺎﺳﻖ ﻭﻣﺮﺍﻫﻖ ﻓﻲ ﺃﺧﺒﺎﺭﻩ ﺑﺮﺅﻳﺔ ﻧﻔﺴﻪ، ﺃﻭ ﺛﺒﻮﺗﻬﺎ ﻓﻲ ﺑﻠﺪ ﻣﺘﺤﺪ ﻣﻄﻠﻌﻪ : - ﺳﻮﺍﺀ ﺃﻭﻝ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺁﺧﺮﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﺻﺢ ﻭﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ : ﺃﻥ ﻟﻪ - ﺑﻞ ﻋﻠﻴﻪ - ﺍﻋﺘﻤﺎﺩ ﺍﻟﻌﻼﻣﺎﺕ ﺑﺪﺧﻮﻝ ﺷﻮﺍﻝ، ﺇﺫﺍ ﺣﺼﻞ ﻟﻪ ﺍﻋﺘﻘﺎﺩ ﺟﺎﺯﻡ ﺑﺼﺪﻗﻬﺎ  ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﻪ ﺷﻴﺨﺎﻧﺎ : ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﻭﺣﺠﺮ، ﻛﺠﻤﻊ ﻣﺤﻘﻘﻴﻦ ﻭﺇﺫﺍ ﺻﺎﻣﻮﺍ - ﻭﻟﻮ ﺑﺮﺅﻳﺔ ﻋﺪﻝ - ﺃﻓﻄﺮﻭﺍ ﺑﻌﺪ ﺛﻼﺛﻴﻦ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺮﻭﺍ ﺍﻟﻬﻼﻝ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻏﻴﻢ، ﻟﻜﻤﺎﻝ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﺑﺤﺠﺔ ﺷﺮﻋﻴﺔ . ﻭﻟﻮ ﺻﺎﻡ ﺑﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﻳﺜﻖ، ﺛﻢ ﻟﻢ ﻳﺮ ﺍﻟﻬﻼﻝ ﺑﻌﺪ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻣﻊ ﺍﻟﺼﺤﻮ : ﻟﻢ ﻳﺠﺰ ﻟﻪ ﺍﻟﻔﻄﺮ،

Kamis, 07 Maret 2019

Pembahasan solat syarah sittin



(Adapun solat maka syarat-sarat wajibnya ada empat) yang pertama (islam) maka solat itu tidak wajib terhadap orang kafir asli, kewajiban untuk solat yang dituntut didunia, karena solat tidak sah dari orang kafir, tetapi dia akan disiksa diakhirat atas dasar tidak solat. Adapun orang murtad maka tidak gugur baginya kewajiban solat dengan sebab murtad, maka wajib baginya apabila ia kembali pada islam meng-Qodo apa yang sudah berlalu baginya pada waktu murtad, memang benar ia harus meng-Qodo solat atau kewajiban lainya diwaktu murtad tetapi wanita yang murtad tidak mesti meng-Qodo solatnya diwaktu haid atau nifas pada saat murtad.
Kedua syarat syarat wajibnya solat ialah (balig) maka tidak wajib solat bagi yang belum balig  tetapi wajib bagi pengurus anak yang belum balig untuk memerintahkan solat bila anak itu sudah berumur tujuh tahun dengan syarat tamyiz /sudah pintar [sudah bisa makan sendiri minum sendiri cebok sendiri] dan memukulnya [ dengan pukulan yang tidak membahayakan] bila meninggalkan solat ketika sudah berumur sepuluh tahun.
Ketiga dari 4 syarat wajib solat ialah (berakal) maka tidak wajib solat terhadap orang yang hilang akalnya sebab gila, atau ayan/epilepsi, atau sebagainya. Karena berdasarkan hadits nabi:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ
عَنِ الصَّبي حتى يبلغ وعن النائم حتى يستيقظ وعن المجنون حتى يفيق
Diangkat pena (catatan amal) dari tiga orang, dari anak kecil hingga ia balig, dari orang tidur hingga ia bangun, dari orang gila hingga ia sembuh dari gilanya.
Memang benar orang yang hilang akalnya itu tidak wajib solat tetapi siapa saja orang yang hilang akalnya dengan sebab disengaja-sengaja seperti meminum minuman yang memabukkan atau makan obat yang dapat menghilangkan akal sedang dia tahu perbuatannya dapat menghilangkan akal dan atas keinginan sendiri tanpa paksaan, maka dia wajib meng-Qodo apa yang terlewat dimasa itu, tetapi wanita tidak meng-Qodo dimasa haid dan nipas dimasa itu [ masa hilangnya akal karena sengaja ].
Keempatnya ialah(suci dari haid dan nifas) maka solat tidak wajib terhadap orang yang haid dan orang yang nifas karena tidak sahnya solat dari mereka. Syarat wajib solat disebagian Nusakh gugur / tidak tersebut.
(Syarat-syarat sahnya solat ada delapan) awalnya ialah (Tamyiz/pintar) tamyiz ialah anak yang sudah bisa memahami bila diajak bicara dan menjawabi, maka tidak sah solatnya orang yang belum tamyiz.
Kedua syarat sahnya solat ialah (mengetahui kefarduan solat) yakni solat yang difardukan, maka tidak sah solatnya orang yang tidak mengetahui kefarduan solat.
Ketiga syarat sahnya solat ialah (bisa membedakan fardunya solat dari sunah-sunahnya solat) maka kalau tidak bisa membedakan rukun dari sunah-sunahnya solat maka tidak sah solatnya kecuali ia meyakini bahwa sumua perbuatan dalam solat adalah fardu, atau orang bodoh yang beranggapan sebagian perbuatan dalam solat itu fardu dan sebagian yang lain itu adalah sunah dengan syarat tidak beranggapan terhadap yang sunah adalah fardu.
Ke-empatnya ialah (mengetahui masuknya waktu secara yakin, atau dugaan yang kuat) yaitu tahu masuknya waktu atau menduga dengan dugaan yang kuat telah masuk waktu, maka barang siapa solat tanpa itu semua maka tidak sah ibadahnya walaupun berlangsung diwaktunya.
Kelimanya ialah (menutup aurat) dengan apa yang dapat menghalangi terlihatnya warna kulit walaupun orang yang solat itu ditempat sepi dalam gelap. Maka bila tidak menutup aurat padahal mampu untuk menutup aurat maka tidak sah solatnya, (aurat laki-laki) yakni pria (dan Amat) yakni perempuan yang menjadi budak/ sahaya (ialah apa yang diantara pusar dan dengkul) karena berdasarkan hadits nabi:
اذا زوج احدكم امته عبده او اجيره فلا ينظر الى عورته والعورة ما بين السرة والركبة
apabila salah seorang dari kamu mengawinkan budak perempuannya kepada budak laki-lakinya atau kepada pembantunya maka janganlah kamu melihat auratnya dan aurat itu adalah apa yang diantara pusar dan dengkul.
Amat disamakan dengan laki-laki [dalam hukum aurat] perkataan kiyai musonif memberlakukan bahwa pusar dan dengkul bukan bagian dari aurat demikian pula hukumnya [tapi keduanya wajib ditutupi].
(Aurat perempuan merdeka [bukan budak] ialah seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua tapak tangannya ) luar dan dalamnya /depanbelakang sampai pergelangan tangan karena berdasarkan firman Allah:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا 
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (Annur : 31)
Berkata Ibnu Abbas dan Ibnu Umar dan Aisyah semoga Allah meridloi mereka : apa yang nampak itu wajah dan tapak tangan.
Ke-enamnya syarat sahnya solat ialah (menghadap kiblat) yakni ka'bah dengan dada maka bila seseorang yang kuasa, meninggalkan menghadap kiblat maka tidak sah solatnya (kecuali pada solat syiddatul khauf/ solat dalam perang) maka tidak disyaratkan menghadap kiblat di solat tersebut. (Dan solat sunah safar/bepergian) yang mubah ketujuan yang di ketahui, maka tidak di syarat kan menghadap kiblat pada solat sunah safar kecuali pada takbiratul ihram orang yang bepergiannya jalan kaki, pada ruku' dan sujudnya juga, dan kecuali pada orang yang solat dalam sekedop [tempat tidur yang ada dipunggung unta atau kendaraan] dan kecuali pada takbiratul ihromnya orang yang mengendarai selain apa yang disebutkan, kalau mudah menghadap kiblat disitu bila mampu. Dua perkara pengecualian ini disebagian nusakh gugur/tidak ada.
Ketujuhnya ialah (suci) badan,  (pakaian dan tempat solatnya) dari najis yang tidak dimaafkan 
Maka tidak sah solat beserta najis tersebut yang berada di salah satu dari 3 tersebut [badan,pakaian dan tempat] adapun najis yang dimaafkan maka sah solat besertanya seperti darah tumbila /bangsat/tatinggi, tahi/ kotoran lalat, darah bisul, darah luka/koreng, nanah dan shodid [lendir campur darah]. Ketahuilah sesungguhnya islam itu syarat bagi setiap ibadah yang membutuhkan niat seperti solat dan lainya hingga bila seseorang murtad dipertengahan solatnya maka batal lah solatnya, kiyai musonif tidak menyebut islam disyarat solat ini, karena islam tidak dikhususkan pada solat dan karena jelasnya islam. (Fardu-fardu solat) yakni rukun-rukun solat (ada delapan belas) yang pertama (adalah niat) karena berdasarkan hadits nabi:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
Sesungguhnya sahnya amal itu dengan niat.
Wajib seseorang untuk niat dalam solat fardu akan tiga perkara, 1. Niat mengerjakan solat. 2. Niat menyatakan solat seperti subuh dan lainnya. dan 3. Niat kefarduan solat.
Yang kedua rukun solat ialah (takbiratul ihrom) yaitu ucapan Allahu akbar dan tidak apa-apa ada tambahan yang tidak mencegah nama takbir seperti lapadz Allahuljalilu akbar. Wajib membarengkan niat dengan awal Takbiratul Ihram dan terus-menerus hingga akhir Takbiratul Ihram. ketiganya ialah (berdiri bagi yang mampu) dalam salat fardu karena berdasarkan perkataan nabi SAW kepada Imron Husein dan keadaan Imron mengidap penyakit bawasir ambien, nabi berkata shalatlah kamu sambil berdiri, bila tidak mampu maka sambil duduk, bila tidak mampu juga maka sambil tiduran miring, bila tidak mampu maka tiduran terlentang, Allah tidak memberi tanggungan kepada diri seseorang kecuali semampunya. keluar dari yang mampu berdiri / kuasa berdiri yaitu orang yang tidak mampu berdiri, maka ia salat semampu sekira kira keadaannya, maka dia salat sambil duduk bila tidak mampu maka sambil tiduran miring bila tidak mampu maka sambil tiduran terlentang bila tidak mampu maka dengan isyarah pakai kedipan matanya bila tidak mampu maka ia menjalankan semua perbuatan salatnya dengan hatinya, seseorang tidaklah meninggalkan shalat selagi akalnya / kesadarannya masih ada, dan termasuk dalam pengertian tidak mampu yaitu orang yang mendapati kepayahan yang nyata dengan berdiri seperti pusingnya kepala bagi yang mengendarai perahu. Adapun salat Sunnah maka dibolehkan seseorang solat sambil duduk atau tiduran miring.
Yang ke-empat rukun solat ialah (bacaan fatihah) dalam berdiri ditiap-tiap rakaat kecuali rakaat makmum masbuk [orang yang tidak mendapati masa yang memuat untuk membaca fatihah bersama imam] dan wajib tartibnya fatihah dan mualatnya fatihah.
Yang kelima ialah (ruku') paling sedikitnya ruku' ialah membungkuk sekiranya kedua tapak tangan sampai dilututnya dengan membungkuk bukan dengan inhinas/ ngadengkeng [ leher kebelakang dada maju kedepan].
Ke-enamnya ialah ( tuma'ninah ruku') yakni ruku' dengan rupa diamnya /tenangnya anggota badanya sebelum mengangkat berdiri.
Ketujuh dan kedelapannya ialah ( i'tidal dan tuma'ninahnya) walau dalam solat sunah. Kesembilannya ialah (sujud) paling sedikit sujud ialah menempelkan sabagian dahi ke tempat sujud dengan keadaan tidak ada penghalang pada dahinya, benar tidak sah sujud kalau ada penghalang didahi/kening, tetapi bila dahinya orang solat diperban karena karena luka atau sakit dan terasa payah apabila perban itu dilepas maka cukup/tetap sah sujud dalam keadaan dahi diperban. Kesepuluhnya ialah (tuma'ninah sujud) yakni sujud, wajib menekankan seberat kepala orang yang sujud ditempat sujudnya dengan dekira-kira bila diperkirakan dibawah tempat sujud itu ada rumput atau kapas maka akan terbentuk cekungan dan jelas bekasnya ditangan bila tangan diperkirakan ada dibawah kapas itu. Wajib pula dalam sujud mengangkat bagian bawahnya orang yang solat [bokongnya] lebih tinggi bagian atasnya orang yang solat [kepala dan pundaknya] dan meletakkan/menempelkan [kesajadah atau lantai saat sujud] kedua tapak tangannya, kedua dengkulnya dan kedua tapak kakinya [telapaknya jari-jari kedua kakinya]. Kesebelas dan kedua belasnya ialah (duduk antara dua sujud dan tuma'ninahnya) yakni tuma'ninah duduk, walau dalam solat sunah. Ketiga belas, keempat belas dan kelima belasnya ialah (duduk untuk tasyahud, tasyahud/tahiyat dalam duduk itu dan baca solawat atas nabi SAW). Ketujuh belasnya ialah (tartib) terhadap rukun-rukun solat seperti apa yang telah kami sebutkan dalam hitungannya, apabila seseorang meninggalkan tartib secara sengaja dengan artian dia mendahulukan rukun fi'liy /rukun perbuatan atas tempatnya rukun fi'liy, seperti bahwasanya ia sujud sebelum ia ruku' secara sengaja maka batal solatnya, atau karena lupa, maka ia mengerjakan rukun yang tertinggal itu kalau ia sudah mengingatnya sebelum ia mengerjakan rukun yang serupa dengan yang tertinggal itu, apabila tidak ingat hingga mengerjakan rukun yang serupa dengan yang tertinggal itu, maka sempurna rakaatnya dengan sebab yang dikerjakannya dan sia-sia apa antara  rukun yang tertinggal {matruk} dan rukun yang dikerjakan {maful} dan ia mesti menyusul rukun yang masih tersisa.
Ketujuh belasnya ialah (mualat) yang dimaksud dengan mualat seperti apa yang disebut imam Rafi'i karena ikut pada imam ialah tidak memanjangkan rukun yang pendek yakni i'tidal dan duduk antara dua sujud, apabila orang yang solat memanjangkan rukun yang pendek secara sengaja dengan diam atau dengan dzikir yang tidak disyariatkan /tidak diperintahkan padanya maka batal solatnya. Ibnu sholah menggambarkan terhadap meninggalkan mualat dengan apa yang bilamana seseorang melakukan uluk salam dalam keadaan lupa dan panjangnya/lamanya pisah {karena lupa} maka sesungguhnya solatnya batal karena ada pemisah karena sesungguhnya orang itu bukan orang yang solat sebenarnya, sebagian ulama yang lain menggambarkan terhadap meninggalkan mualat dengan apa yang bilamana seseorang ragu-ragu/bimbang pada niat solatnya dan ia belum melewatkan/melakukan suatu rukun tetapi ia melamakan masa bimbang maka sesungguhnya solatnya batal karena sesungguhnya yang tersebut itu membatalkan mualat.
Kedelapan belasnya ialah (uluk salam pertama) paling sedikit bacaan salam ialah "ASSALAMU 'ALAIKUM"
اَلسَّلَامُ عَلَيْكُم
Adapun niat keluar dari solat maka itu bukan bagian dari rukun-rukun solat menurut qaul ashoh [perkataan/pendapat yang kuat].
(Lafad-lafad tasyahud) kiyai musonif memaksudkan dengan tasyahud disini ialah apa yang mencakup terhadap Sholawat nabi SAW (ada lima kalimat) awal dari lima ialah:
اَلتَّحِيَّاتُ لِلّٰه
(ATTAHIYYATU LILLAH )
Segala kehormatan bagi Alloh.
Ke-duanya ialah:
سَلَامٌ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
(SALAAMUN 'ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WAROHMATULLOHI WABAROKAATUH)
Keselamatan {semoga tercurah} atasmu wahai nabi dan rahmat Allah dan berkah Allah. Ketiganya ialah
سَلَامٌ عَلْيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللّٰهِ الصَّالِحِيْنَ.
(SALAAMUN 'ALAINA WA'ALAA 'IBAADILLAAHIS SHOOLIHIIN)
Keselamatan {semoga tercurah} atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang soleh.
Keempatnya ialah:
اَشْهَدُ اَن الَّا اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّٰهِ
(ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLOH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSULULLOH.)
Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya nabi Muhammad utusan Allah.
Kelimanya ialah:
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ
(ALLAHUMMA SHOLLI 'ALA MUHAMMAD)
YaAllah limpahilah rahmat kepada nabi Muhammad
(Itulah)yakni apa yang kiyai musonif sebutkan dari lafad-lafad tasyahud (yang wajib) sebagian dari apa yang dapat mencukupi/sah pula ialah lafadz: وان محمدا رسول الله WA ANNA MUHAMMADAR ROSUULULLOH atau lafadz: وان محمدا عبده ورسوله WA ANNA MUHAMMADAN 'ABDUHU WAROSUULUHU dengan menggugurkan /menghilangkan lafadz اشهد ASYHADU pada keduanya, dan sebagian dari apa yang mencukupi pula pada solawat atas nabi SAW ialah bacaan :
صلى الله على محمد
SOLLALLOHU 'ALA MUHAMMAD atau صلى الله على رسوله SOLLALLOHU 'ALA ROSUULIH, atau:  صلى الله على النبي SOLLALLOHU 'ALAN NABIYY, dan dijumpai disebagian nusakh lafadz السلام ASSALAAMU secara m'arifat {adanya alif lam dan tidak ditanwin } pada dua tempat dan tidaklah assalamu secara ma'rifat itu wajib dan sesungguhnya itu lah yang paling utama .
(dan lafadz: آله ALIHI ) dan keluarganya yakni keluarga Muhammad (dan apa yang setelahnya) yaitu dari lafad-lafad tasyahud yakni sesungguhnya apa yang selain lafad-lafad yang lima tadi (adalah dari sunah-sunah) yang paling sempurna lafad-lafad tasyahud [wajib dan sunah] adalah :
ﺍَﻟﺘَّﺤِﻴَّﺎﺕُ ﺍﻟْﻤُﺒَﺎﺭَﻛَﺎﺕُ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕُ ﺍﻟﻄَّﻴِّﺒَﺎﺕُ ِﻟﻠﻪِ، ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺍَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﺮَﻛَﺎﺗُﻪُ، ﺍﻟﺴَّﻼَﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻨَﺎ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﻋِﺒَﺎﺩِﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ، ﺃَﺷْﻬَﺪُ
ﺍَﻥْ ﻵ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺍَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪُ، ﺍَﻟﻠﻬُﻢَّ ﺻَﻞِّ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ # ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ، ﻛَﻤَﺎ ﺻَﻠَّﻴْﺖَ ﻋَﻠَﻰ  ﺍِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ  ﺍِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﻭَﺑَﺎﺭِﻙْ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻛَﻤَﺎ بَارَﻛْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﺍِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻝِ ﺍِﺑْﺮَﺍﻫِﻴْﻢَ ﻓِﻰ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ ﺇِﻧَّﻚَ ﺣَﻤِﻴْﺪٌ ﻣَﺠِﻴْﺪٌ
ATTAHIYYATUL MUBAAROKAATUSH SHOLAWATUTH THOYYIBATU LILLAH ASSALAAMU 'ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WAROHMATULLOOHI WABAROKAATUH ASSALAAMU 'ALAINA WA 'ALAA 'IBADILLAHISH SHOLIHIIN , ASYHAHU ALLAA ILAAHA ILLALLOOH, WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR ROSUULULLOOH ALLOOHUMMA SHOLLI 'ALAA MUHAMMAD, WA 'ALAA AALI MUHAMMAD, KAMAA SHOLLAIYTA 'ALAA IBROOHIIM, WA'ALAA AALI IBROOHIIM, WABAARIK 'ALAA MUHAMMADIIN WA'ALAA AALI MUHAMMAD, KAMAA BAAROKTA 'ALAA IBROOHIIMA WA'ALAA AALI IBROOHIIM FIL 'AALAMIINA INNAKA HAMIIDUM MAJIID,
Segala kehormatan, keberkahan, kebaikan bagi Allah, salam, rahmat dan berkahnya kupanjatkan kepadamu wahai nabi (Muhammad) salam (keselamatan) semoga tetap untuk kami dan seluruh hamba yang soleh-soleh, aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya nabi Muhammad itu utusqn Allah, ya Allah limpahilah rahmat kepada nabi  Muhammad, dan keluarga nabi  Muhammad sebagaimana telah engkau beri rahmat kepada nabi ibrohim dan keluarga nabi ibrohim, dan limpahilah berkah atas nabi Muhammad dan keluarga nabi Muhammad sebagaimana telah engkau beri berkah kepada nabi ibrohim dan keluarga nabi ibrohim, diseluruh alam semesta engkau lah yang terpuji dan maha mulia.
(Fardu-fardu solat) terbagi atas tiga bagian (sebagian dari fardu solat yang tiga) ialah apa yang disebut (fardu golongan hati) sebagai dari fardu solat yang tiga) ialah apa yang disebut fardu golongan lisan/ perkataan/bacaan) sebagian dari fardu solat yang tiga ialah apa yang disebut fardu golongan badan/ perbuatan, bagian fardu yang awal) yakni golongan hati ialah (niat) karena sesungguhnya tempatnya niat ialah hati, berkata dengan bacaan niat sesungguhnya itu adalah sunah. (Yang kedua)yakni golongan lisan / bacaan (ialah takbiratul Ihram, baca fatihah, bacaan tasyahud/ attahiyat pada duduk terakhir, bacaan Sholawat atas nabi SAW pada duduk terakhir, dengan salam yang pertama, yang ketiga) yakni rukun golongan badan/ gerakan (ialah sisa fardu-fardu solat) yang 18 perkataan kiyai musonif lafad "WAFURUDUS SHOLAATI 'ALA TSALATSATI AQSAMI hingga akhir" gugur dari sebagin nusakh.
(Sunah-sunah solat itu Ab'ad dan Haiat ) sunah ab'ad ada enam, ( pertamanya ialah doa qunut) pada i'tidal yang kedua solat subuh dan i'tidal rakaat terakhir solat witir separuh terahir bulan romadlon. Yang keduanya ialah (bacaan tasyahud awal) yang dimaksud tasyahud awal ialah lafad yang wajib dalam tasyahud akhir seperti apa yang disebutkan oleh muhibut thobari apa yang disebutkan itu menghendaki / menunjukan mengedepankannya imam Rafi'i untuk baca Sholawat atas nabi SAW. Keempatnya ialah (duduk pada tasyahud) yakni pada tasyahud awal. Kelimannya ialah ( baca Sholawat atas nabi SAW dalam tasyahud) yakni tasyahud awal. Ke-enamnya ialah baca Sholawat (atas keluarganya ) nabi SAW (pada tasyahud akhir), jama'ah ulama menambahkan terhadap enam ini menjadi tujuh yaitu baca Sholawat atas nabi SAW pada doa qunut terdahulu, dinamakan sunah-sunah ini dengan sunah ab'ad karena dekatnya sunah ini dengan ditambal dengan sujud sahwi, dekat dari ab'ad hakiki yakni rukun.
Lafad-lafad doa qunut ialah:
اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرِّمَا قََضَيْتَ، فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ , وَصَلَّى اللهُ عَلَى  النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
“Ya Allah berilah aku petunjuk beserta orang-orang yang telah Engkau tunjukkan. Dan
berilah kesehatan kepadaku sebagaimana orang-orang yang telah Engkau telah berikan kesehatan. Dan peliharalah diriku sebagaimana orang yang telah Engkau peliharakan. Dan berilah keberkahan bagiku pada apa-apa yang telah Engkau kurniakan. Dan selamatkan aku dari bahaya kejahatan yang Engkau telah tentukan. Maka sesungguhnya Engkaulah yang menghukumi dan engkau tidak terkena hukum. Maka sesungguhnya tidak hina orang yang Engkau sayangi. Dan tidak mulia orang yang Engkau memusuhinya. Maha berkahlah Engkau wahai Tuhan kami dan Maha tinggi. Dan semoga Allah mencurahkan rahmat atas Nabi yang Ummiy Muhammad, keluarga dan sahabatnya dan semoga Allah mencurahkan salam.
Disunahkan mengangkat kedua tangan pada doa qunut, dan tidak disunahkan mengusap wajah setelah selesai doa qunut, dan imam menggunakan lafad jama', doa qunut disunahkan bagi imam, orang yang solat sendirian (munfarid), makmum yang tidak bisa mendengar doa qunutnya imam, bila ia dapat mendengar maka makmum meng-Amininya, dan membacakan pujian, permulaan pujian ialah lafadz "fainnaka taqdi".
Sunah ab'ad yang enam yang lalu dan semisalnya ialah tujuh yang lalu itu bila tertinggal atau satu saja yang tertinggal maka sunah sujud sahwi, karena nabi SAW langsung berdiri dari dua rakaat solat dhohor dan beliau tidak duduk tasyahud awal, kemudian beliau sujud pada akhir solat dengan dua sujud sebelum salam, dan dijadikan ukuran hadits ini terhadap sunah Ab'ad lainnya, dan hukum ini berjalan pada imam, munfarid, adapun ketika ia lupa maka imamnyalah yang menanggungnya imam yang tidak berhadats,
Seperti halnya lupanya imam mendapati imam. Sujud sahwi ialah dua sujud seperti sujud solat. Dua sujud itu dilakukan setelah tasyahud, sebelum salam. Apabila mosholli(orang yang solat) tidak mengerjakan sujud sahwi maka tidak ada sesuatu baginya (yang membatalkan) dan solatnya berlalu dalam keadaan sah. Sujud sahwi waktunya terlewat dengan salam yang sengaja begitupula salam yang lupa dengan syarat lamanya pisah / tenggang.
Sunah haiat tidak ada sujud sahwi karenanya, bila sunah itu tidak dikerjakan, karena tidak ada perintah yang warid padanya. Sunah haiat itu ada banyak, diantaranya ialah menganggat kedua tangan ketika permulaan takbiratul ihram secara membetuli/sejajar [ dengan dzal yang bertitik, yaitu membetuli/mensejajari] kedua pundak [ tatsniyahnya lafad mankib, ialah tempat berkumpulnya (sendi) tulang tangan dan tulang belikat. Dengan rupa ujung jari jari kedua tangan dan bagian atas telinga sejajar tingginya kedua jempol sejajar dengan yang lunaknya telinga, kedua tapak tangan sejajar dengan kedua pundak. sebagian dari sunnah haiat ialah meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri dengan pilihan antara meletakkan tangan kanan pada lebar pergelangan tangan. Dan menghamparkan tangan kanan di hasta tangan kiri, meletakannya dibawah dada diatas pusar. Sebagian dari sunah haiat ialah memandang kearah tempat sujud disepanjang solatnya kecuali ketika baca tasyahud maka sesungguhnya sunahnya ialah pandangan (saat tasyahud) tidak melewati jari telunjuk. Sebagian dari sunah haiat ialah doa iftitah secara sir (dibaca tidak nyaring) setelah takbiratul Ihram, bacaan doa iftitah yang ringkas ialah:
ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ِﻟﻠﻪِ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑُﻜْﺮَﺓً ﻭَﺃَﺻِﻴْﻼً .
ALLAHU AKBAR KABIIRO WALHAMDULILLAAHI KATSIIRO WASUBHAANALLOHI BUKROTAW WA-ASHIILA ,
Allah maha besar yang maha agung, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, mahasuci Allah dipagi dan sore.
Sempurna nya doa iftitah ialah:
ﻭَﺟَّﻬْﺖُ ﻭَﺟْﻬِﻲَ ﻟِﻠَّﺬِﻱْ ﻓَﻄَﺮَﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺽَ ﺣَﻨِﻴْﻔًﺎ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﻭَﻣَﺎ ﺃَﻧَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴْﻦَ . ﺇِﻥَّ ﺻَﻼَﺗِﻲْ ﻭَﻧُﺴُﻜِﻲْ ﻭَﻣَﺤْﻴَﺎﻱَ ﻭَﻣَﻤَﺎﺗِﻲْ ِﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ . ﻻَﺷَﺮِﻳْﻚَ ﻟَﻪُ ﻭَﺑِﺬﻟِﻚَ ﺃُﻣِﺮْﺕُ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ .
Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah termasuk dari orang yang  berserah diri (islam).
Apa yang disebutkan kiyai musonif bahwa sunah (doa iftitah) dapat berhasil dengan lafadz Allahu akbar kabiiro sampai ahir (wa-ashiila) adalah sahih maka sungguh imam an-nawawi telah berkata dalam kitab syarah muhadzab setelah imam an-nawawi menyebut "wajjahtu" dan seterusnya, telah warid/datang dalam beberapa hadits shahih (doa iftitah) dzikir yang lain yang dapat menghasilkan sunah dengan tiap salahsatu darinya, walaupun apa yang telah kami sebutkan ialah yang lebih utama dari dzikir-dzikir yang lain tersebut, apa yang kami sebutkan itu ialah
ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ِﻟﻠﻪِ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻭَﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑُﻜْﺮَﺓً ﻭَﺃَﺻِﻴْﻼً .
Sebagian dari sunah ab'ad yang banyak itu ialah selain itu tersebut, yakni sunah-sunah yang masyhur, semisal ta-awwudz (اعوذ بالله من الشيطان الرجيم ) dibaca tidak nyaring dalam tiap-tiap rakaat sebelum bacaan fatihah, bacaan amin setelah Fatihah.
Membaca surat atau sebagiannya setelah Fatihah bagi Imam, orang yang salat sendirian,dan makmum yang tidak mendengar bacaan surat Imam pada 2 rakaat awal, dan pada rakaat ketiga dan keempat bagi selain orang yang didahului oleh Imam dengan dua rakaat awal [karena rakaat ketiga dan keempat itu adalah dua rakaat awal bagi dia, pen ]
Membaca nyaring ketika baca al-fatihah (dan surat) pada salat subuh, Jumat, 2salat hari raya, gerhana bulan, dan 2 rakaat awal dari magrib dan Isya. membaca samar pada apa yang selain itu tadi. membaca surat Alif Lam Mim Tanzilu (surat Sajadah) pada rakaat pertama dari subuh Jumat dan surat hal Ata (Al Insan) pada rokaat kedua. dan Uluk salam kedua.

Selanjutnya klik disini

1 | 2 |  3   | 4