Rabu, 03 Juli 2019

Terjemah Alfiyah

لاَ الَّتِي لِنَفِيْ الْجِنْسِ

BAB “LAA” YANG MENIADAKAN ISIM JENIS (LAA LI NAFYIL-JINSI)

عَمَلَ إِنَّ اجْعَلْ لِلا فِي نَكِرَهْ مُفْرَدَةً جَاءتْكَ أَوْ مُكَرَّرَهْ

Jadikanlah seperti amal INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya) untuk LAA yg beramal pada isim nakirah, baik LAA itu datang kepadamu secara Mufrod (satu kali) atau secara Mukarror (berulang-ulang).

KETERANGAN BAIT KE 1:
“LAA LI NAFYIL JINSI” termasuk bagian dari huruf-huruf nawasikh yg masuk pada mubtada’-khobar dan merusak I’robnya, beramal seperti INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya). Baik diucapkan dengan satu kali (Mufrod), contoh : “LAA ROJULA” FID-DAARI. Atau diucapkan dengan berulang-ulang (Takrir), contoh: “LAA ROJULA” WA “LAA IMRO’ATA” FID-DAARI. Secara khusus berfungsi meniadakan jenis secara keseluruhan, ini membedakan dengan “LAA LI NAFYIL WAHID” yg beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya).

Syarat pengamalan “LAA LI NAFYIL JINSI” adalah :
1. isim dan khobarnya harus nakiroh.
2. tidak boleh ada fashl/pemisah antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMnya.
3. tidak boleh ada huruf jar masuk pada “LAA LI NAFYIL JINSI”.

فَانْصِبْ بِهَا مُضَافَاً أَوْ مُضَارِعَهْ وَبَعْدَ ذَاكَ الْخَبَرَ اذْكُرْ رَافِعَهْ

Nashabkanlah olehmu sebab “LAA” terhadap isimnya yg Mudhaf atau yg menyerupai Mudhaf . setelah itu sebutkanlah khobarnya dengan merofa’kannya.

وَرَكّبِ الْمُفْرَدَ فَاتِحَاً كَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ وَالْثَّانِ اجْعَلاَ

Tarkibkanlah olehmu (menjadikan satu tarkib antara LAA dan Isimnya) terhadap isimnya yg mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf) dengan menfat-hahkannya (menghukumi mabni fathah karena satu tarkib dengan LAA). Seperti: “LAA-HAULA” wa “LAA-QUWWATA”,
Dan terhadap lafazh yg kedua (dari contoh LAA yg diulang-ulang: (1) “LAA-HAULA” wa (2) “LAA-QUWWATA”) boleh kamu jadikan ia.. (lanjut ke bait 4)

مَرْفُوْعَاً أوْ مَنْصُوباً أوْ مُرَكَّباً وَإِنْ رَفَعْتَ أَوَّلاً لاَ تَنْصِبَا

..dirofa’kan atau dinashabkan atau ditarkib, jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua.

KETERANGAN BAIT 2-3-4:
Ada tiga poin yg menyangkut tentang isimnya “LAA LI NAFYIL JINSI”:
1. berupa Mudhaf (tersusun dari susunan idhafah, mudhaf dan mudahf ilaih)
2. berupa Syabihul-Mudhaf (tersusun dengan kalimah lain baik makmulnya/ta’alluqnya/ma’thufnya dll)
3. berupa Mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf, baik isim mufrod, mutsanna, atau jamak)
> Poin yg no 1 dan 2, dihukumi nashab dengan tanda nashabnya secara zhahir, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs.
> Poin yg no 3 dihukumi mabni atas tanda I’rab nashabnya, menempati mahal nashab, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs . Dihukumi mabni karena dijadikan satu tarkib antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan Isimnya.

Apabila setelah “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMNYA terdapat isim ma’thuf yg berupa isim nakirah dan mufrodah, maka hal seperti ini kadangkala LAA tidak diulang dan kadangkala penyebutan LAA diulang pada isim ma’thufnya, contoh لا حول ولا قوة إلا بالله (LAA HAWLA WA LAA QUWWATA)

Apabila terdapat ma’thuf dan LAA diulang-ulang seperti itu, maka mencakup tiga bacaan:

BACAAN KE SATU : lafazh yg pertama (ma’thuf alaih) dibaca mabni (apabila mufrodah), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 3 jalan:
1. MABNI, LAA yg kedua juga beramal spt INNA, athaf secara jumlah. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATA
2. NASHAB, Athaf kepada mahal nashab isim LAA, dan LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATAN
3. ROFA’, athaf kepada mubtada’ karena “TARKIB LAA DAN ISIMNYA” posisinya sebagai mubtada’, LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Atau LAA yg kedua beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya) yg mempunyai faidah sebagai nafi jenis. Atau lafazh yg kedua itu sendiri sebagai Mubtada’ dan LAA yg kedua tidak beramal. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATUN

BACAAN KE DUA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca nashab (apabila mudhaf atau yg menyerupai mudhaf), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) juga boleh dibaca 3 jalan sebagaimana hukum BACAAN KE SATU diatas, yaitu : MABNI, NASHAB dan ROFA’ (untuk rofa’ tidak boleh untuk alasan athaf kepada mubtada’ sebab isimnya berupa mudhaf/syabih mudhaf).

BACAAN KE TIGA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca Rofa’ (apabila LAA diamalkan seperti LAISA atau karena ada illah yg membuat LAA menjadi Muhmal), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 2 jalan: 1. MABNI, karena mufrodah. 2. ROFA’, karena athaf pada isim marfu’, atau karena menjadi mubtada dan LAA dihukumi Zaidah, atau sebagai isimnya LAA yg juga diamalkan seperti LAISA.
Untuk BACAAN KE TIGA ini tidak boleh lafazh yg kedua (ma’thuf) dibaca Nashab sebab status LAA pertama disini bukan sebagai Amil nashab, oleh karenanya dalam bait disebutkan “WA IN ROFA’TA AWWALAN LAA TANSHIBAA” (jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua).

وَمُفْرَدَاً نَعْتَاً لِمَبْنِيّ يَلِي فَافْتَحْ أَوِ انْصِبَنْ أَوِ ارْفَعْ تَعْدِلِ

Terhadap mufrod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yang na’at secara langsung (tanpa ada pemisah) pada isim LAA yg mabni maka fathahkanlah atau nashabkanlah atau rofa’kanlah demikian kamu adil.
KETERANGAN BAIT KE 5
Apabila ada Isim murfod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yg na’at pada isimnya LAA nafi jenis yg mabni, dimana na’atnya mengiringi langsung tanpa pemisah, maka boleh Na’at tsb dibaca tiga wajah:
1. MABNI FATHAH, karena dijadikan satu tarkib berikut berbarengan dengan isimnya LAA. Contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFA
2. NASHAB, karena melihat pada mahal nashab isimnya LAA, contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFAN
3. ROFA’, karena melihat pada mahal rofa tarkib LAA + ISIMnya yg menempati posisi sebagai mubtada. Contoh:
LAA+ROJULA ZHORIIFUN

وَغَيْرَ مَا يَلِي وَغَيْرَ الْمُفْرَدِ لاَ تَبْنِ وَانْصِبْهُ أَوِ الْرَّفْعَ اقْصِدِ

Na’at yg tidak mengiringi langsung (ada pemisah) dan na’at yg tidak mufrad (mudhaf/syabih mudhaf) janganlah kamu memabnikannya, tapi nashabkanlah atau kehendakilah dengan merofa’kannya.

KETERANGAN BAIT KE 6
Isim yg NA’AT pada isimnya LAA NAFI JINSI yg dimabnikan, boleh dibaca 3 wajah (MABNI, NASHAB, ROFA’) demikian ini apabila NA’AT dan ISIM LAA sama-sama mufrodah dan tidak ada pemisah (lihat bait ke 5)
Kemudian, apabila ada pemisah antara NA’AT dan ISIM LAA yg mabni, atau tidak ada pemisah tapi NA’ATnya tidak mufrodah maka boleh dibaca 2 wajah (NASHAB dan ROFA’) dan tidak boleh MABNI. Contoh:
1. LAA ROJULA FIIHAA ZHARIIFAN/ZHARIIFUN (terdapat fashl)
2. LAA ROJULA SHAAHIBA BIRRIN/SHAAHIBU BIRRIN (tdk terdapat fashl tapi na’at tidak mufrodah)

وَالْعَطْفُ إِنْ لَمْ تَتَكَرَّرْ لاَ احْكُمَا لَهُ بِمَا لِلْنَّعْتِ ذِي الْفَصْلِ انْتَمَى

Adapun ‘Athaf, jika LAA tidak diulang-ulang maka hukumilah ma’thufnya dengan hukum yg dinisbatkan pada Na’at yg Fashl (boleh nashab dan rofa’ tidak boleh mabni, lihat bait ke 6).

KETERANGAN BAIT KE 7

Pada bait dahulu dijelaskan (bait ke2-3-4) bahwa apabila setelah isim laa ada isim ma’thuf yg nakirah dan mufrodah, maka penyebutan LAA kadang diulang-ulang kadang tidak.
Nah dalam bait ke 7 ini menerangkan tentang hokum ma’thuf pada isim LAA yg mana LAA tidak diulang-ulang.:
Boleh Ma’thuf disini dihukumi dengan bacaan sebagaimana yg terjadi pada hukum isim yg Na’at pada isim LAA yg terdapat Fashl/pemisah (lihat bait ke 6) yaitu NASHAB dan ROFA, tidak boleh MABNI. Salahsatu contoh:

LAA MUDARRISA WA THOOLIBUN/THOOLIBAN FIL MADROSATI
(rofa = athaf pada mahal rofa tarkib LAA+ISIMNYA sebagai mubtada’| nashab = athaf pada mahal nashab isim LAA)

وَأَعْطِ لاَ مَعْ هَمْزَةِ اسْتِفْهَامِ مَا تَسْتَحِقُّ دُوْنَ الاسْتِفْهَامِ

Beikanlah pada LAA NAFI JINSI yg menyertai HAMZAH ISTIFHAM, dengan hukum yg menhakinya ketika tanpa adanya HAMAZAH ISTIFHAM.

KETERANGAN BAIT KE 8
HAMZAH ISTIFHAM yg masuk pada LAA NFYIL JINSI (A LAA) maka hukumnya berlaku sama sebagaimana ketika belum dimasuki HAMZAH ISTIFHAM seperti hukum Isimnya, khobarnya, Na’at, Ma’thuf, Muhmal ketida LAA diulang-ulang dan sebagainya (lihat bait-bait sebelumnya).
Fungsi utama HAMZAH ISTIFHAM (A) disini adalah: mempertanyakan Nafi, yakni sumber khabar nafi tsb benar atau tidak?. Contoh:
A LAA TAAJIRO SHOODIQUN?
Apakah tidak ada pedagang itu jujur?
Atau HAMZAH ISTIFHAM difungsikan sebagai taubikh (teguran) contoh:
A LAA IHSAANA MINKA WA ANTA GHINIYYUN?
Apakah tidak ada kemurahan darimu sedang kamu adalah orang kaya?

وَشَاعَ فِي ذَا الْبَابِ إِسْقَاطُ الْخَبَرْ إِذَا الْمُرَادُ مَعْ سُقُوْطِهِ ظَهَرْ

Mayoritas penggunaan LAA NAFI JENIS dalam bab ini membuang KHOBAR, bilamamana pengertian yg menyertai pembuangan khobar tsb sudah jelas.

KETERANGAN BAIT KE 9

Apabila ada dalil tentang khobar dari LAA NAFI JENIS maka khobarnya cukup dibuang, pembuangan khobar dalah hal ini mayoritas digunakan. Baik dalil tersebut berupa Maqol (perkataan) contoh orang berkata “HAL MIN ROJULIN HAADHIRIN?” maka cukup dijawab “LAA ROJULA”. (TIDAK SORANG PUN = membuang khobar MUJUUDUN = ADA). Atau dalil tsb berupa hal keadaan contoh seseorang berkata pada orang yg keadaan sakit: “LAA BA’SA” (TIDAK APA-APA, membuang khobar ‘ALAIKA = BUAT MU) .

KESIMPULAN:

Mayoritas penggunaan khobar LAA NAFI JINSI adalah dibuang, demikian ini karena maksud/pengertian dari khobar yg terbuang tsb sudah jelas, dan kejelasan suatu khobar takkan terjadi kecuali adanya dalil.

۞ Zhonna dan Saudara-saudaranya ۞

ظَنَّ وَأَخَوَاتُهَا

Zhonna dan saudara-saudaranya

اِنْصِبْ بِفِعْلِ الْقَلْبِ جُزْأَي ابْتِدَا أَعْنِي رَأَى خَالَ عَلِمْتُ وَجَدَا

Nashabkanlah sebab Fi’il Qulub terhadap dua juz ibtida (Mubtada dan Khabar), yakni aku maksudkan adalah: Ro’aa, Khoola, ‘Alima, Wajada.

ظَنَّ حَسِبْتُ وَزَعَمْتُ مَعَ عَدّ حَجَا دَرَى وَجَعَلَ اللَّذْ كَاعْتَقَدْ

Zhonna, Hasiba dan Za’ama, berikutnya ‘Adda, Hajaa, Daroo, juga Ja’ala yg seperti arti I’taqada (mempercayai).

وَهَبْ تَعَلَّمْ وَالَّتِي كَصَيَّرَا أَيْضَاً بِهَا انْصِبْ مُبْتَداً وَخَبَرَا

dan Hab, Ta’allam, juga yg searti dg lafazh Shoyyaro nashabkanlah juga dengannya terhadap mubtada’ dan khobar.

KETERANGAN BAIT KE 1,2,3 :

Bagian Bab dari fiil-fiil nawasikh ZHONNA Cs, menashabkan mubtada’ dan khobar sebagai dua maf’ulnya.
Fi’il-fi’il pada bab ini terbagi dua, Af’aalul Quluub dan Af’aalut Tahwiil.

AF’AALUL QULUUB
Secara makna berarti pekerjaan-pekerjaan yg ada dalam hati seperti mengetahui, meyakini, menyangka, dll. Af’aalul Quluub dalam hal ini terbagi menjadi empat bagian:

Berfaedah YAQIIN (meyakinkan ketetapan khobar), yaitu:WAJADA. Contoh:
إنّا وجدناه صابرا
Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabarTA’ALLAM. Contoh:
تعلم أن الربا بلاء
Ketahuilah sesungguhnya harta riba adalah petakaDAROO. Contoh:
وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ
dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamuBerfaedah RUJHAAN (lebih cenderung pada meyakinkan ketetapan khobar), yaitu:JA’ALA (bima’na beri’tikad) contoh:
وجعلوا الملائكة الذين هم عباد الرحمن إناثاً
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuanHAJAA, contoh:
حجوت الجوَّ بارداً
Aku memperkirakan cuaca dingin‘ADDA, contoh:
عددت الصديقَ أخاً
Aku menganggap teman itu sebagai saudaraHAB, contoh:
فقلت أجرني أبا مالك # وإلا فهبني أمرأً هالكاً
Aku Cuma mampu berkata: berilah aku kesempatan sekali lagi wahai Abu Malik! Jika tidak maka anggaplah aku sesuatu yg binasa.ZA’AMA, contoh:
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا
Orang-orang yang kafir berdalih bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan.Umumnya berfaedah YAQIIN terkadang juga faedah RUJHAAN yaitu:RO’AA, contoh:
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا وَنَرَاهُ قَرِيبًا
Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). (RO’AA pertama berfaedah RUJHAAN dan RO’AA kedua berfaedah YAQIIN).‘ALIMA, contoh:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah.Umumnya berfaedah RUJHAAN terkadang juga faedah YAQIIN yaitu:ZHONNA, contoh Rujhaan:
فَقَالَ لَهُ فِرْعَوْنُ إِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا مُوسَى مَسْحُورًا
lalu Fir’aun berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang kena sihir.”
Contoh Yaqiin:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui TuhannyaKHOOLA, contoh:
خِلتُ الدراسةَ مُتعةً
Aku menyangka belajar itu adalah bersenang-senang.HASIBA, contoh:
حسب المهملُ النجاحَ سهلاً
Orang iseng mengira kesuksesan itu mudah.
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim

AF’AALUT-TAHWIIL
Secara makna menunjukkan pada perubahan sesuatu, yakni merubah dari satu keadaan kepada keadaan yg lain. Oleh karenanya dinamakan juga AF’AALUT-TASHYIIR, karena semua kata kerja pada bagian ini mempunyai arti SYUYYIRO (menjadikan). Yaitu:

JA’ALA, contoh:
جعلت الذهب خاتماً
Aku jadikan emas itu sebuah cincin.
وقدمنآ إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هبآء منثورا
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan[1062], lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.RODDA, contoh:
رَدّتِ الاستقامةُ الوجوهَ المظلمة نيرةً
Istiqomah mengembalikan jalan kegelapan kepada terang benderang
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu berimanTAROKA, contoh:
تركت الطلاب يبحثون في المسألة
Aku membiarkan siswa-siswa itu membahas suatu masalah.
وتركنا بعضهم يومئذ يموج في بعض
Kami biarkan mereka di hari itu[893] bercampur aduk antara satu dengan yang lain,ITTAKHODA, contoh:
اتخذت طالبَ العلم صديقاً
Aku jadikan pelajar itu sebagai teman.
واتّخذ الله إبراهيم خليلا
Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNyaSHUYYIRO, contoh:
صيرت الزجاج لامعاً
Aku jadikan kaca itu menjadi cermin.HAB, contoh:
وهبني الله فداء الحق
Semoga Allah menganugerahiku Fidaaul-haqq (balasan/tebusan kepada yg haq).

وَخُصَّ بِالْتَّعْلِيْقِ وَالإِلْغَاء مَا مِنْ قَبْلِ هَبْ وَالأَمْرَ هَبْ قَدْ أُلْزِمَا

Hukum Ta’liiq dan Ilghaa’ hanya dikhususkan untuk Saudara-saudara Zhonna yg disebut sebelum HAB! (lihat redaksi Bait-bait sebelumnya). Dan untuk HAB! Ditetapkan pada bentuk amarnya saja (tidak mutasharrif)

كَذَا تَعَلَّمْ وَلِغَيْرِ الْمَاضِ مِنْ سِوَاهُمَا اجْعَلْ كُلَّ مَا لَهُ زُكِنْ

Seperti juga TA’ALLAM! (sama dengan HAB!). Dan pada bentuk selain fi’il madhi (Zhonna Cs) selain HAB dan TA’ALLAM, jadikanlah semua hukum yg biasa berlaku pada fi’il madhinya.

KETERANGAN BAIT KE 4,5
Telah disebutkan pada keterangan bait sebelumnya bahwa fi’il-fi’il pada bab ini terbagi menjadi AF’ALUL QULUB dan AF’ALUT-TAHWIL.
AF’ALUL QULUB dalam bab ini, ada yg mutasharrif dan ada yg tidak mutasharrif. Fiil yg mutasharrif selain HAB dan TA’ALLAM.

Selain bentuk fi’il madhi dari fi’il-fi’il mutasharrif tersebut mengamal sebagaimana hukum pengamalan yg biasa berlaku untuk fi’il madhinya. Sedangkan HAB dan TA’ALLAM tidak diberlakukan kecuali bentuk Amarnya.

Diberlakukan juga secara khusus pada fi’il-fiil qulub yg mutasharrif yaitu hukum TA’LIQ dan ILGHA’:

TA’LIQ adalah: meninggalkan pengamalan secara lafazh bukan secara makna (mengamal secara Mahal/Maqom) dikarenakan ada lafazh yg menjadi pencegah (MAANI’). Contoh:
“ZHONANTU LA ZAIDUN QOOIMUN”
Yg menjadi pencegah dalam contoh ini adalah huruf LAM.

ILGHA’ adalah: meninggalkan pengamalan secara lafazh dan makna tanpa adanya MAANI’ (lafazh pencegah amal). Contoh:
“ZAIDUN ZHONANTU QOOIMUN”…

وَجَوِّزِ الإِلْغَاء لاَ فِي الإبْتِدَا وَانْوِ ضَمِيْرَ الشَّانِ أَوْ لاَمَ ابْتِدَا

Perbolehkan menghukumi Ilgha (ZHONNA CS – AF’ALUL QULUB MUTASHARRIF) yang bukan berada di awal kalimat.
Dan mengiralah dhamir syaen atau lam ibtida’…

فِي مُوهِمٍ إِلْغَاء مَا تَقَدَّمَا وَالْتَزِمِ الْتَّعْلِيْقَ قَبْلَ نَفْي مَا

…didalam perkataan seorang Muhim (anggapan benar) terhadap hukum Ilgha-nya yg ada di awal kalimat.
Dan wajibkanlah menghukumi Ta’liq padanya yg berada sebelum MAA NAFI, …

وَإِنْ وَلاَ لاَمُ ابْتِدَاءٍ أَوْ قَسَمْ كَذَا وَالاسْتِفْهَامُ ذَا لَهُ انْحَتَمْ

IN NAFI dan LAA NAFI, demikian juga LAM IBTIDA atau LAM QOSAM. Adapun ta’liq juga wajib dikarenakan ada ISTIFHAM.

KETERANGAN BAIT KE 6,7,8

Tiga bait diatas menerangkan hukum ILGHA dan TA’LIQ pada ZHONNA dan saudara-saudaranya yg berupa Af’aalul Qulub yg mutasharrif.

Hukum ILGHA (pembatalan amal secara lafzhan dan mahallan) karena berada di tengah atau di akhir kalimat. Contoh:
AS-SIDQU ‘ALIMTU NAAFI’UN
AS-SHIDQU NAAFI’UN ‘ALIMTU
“Aku tahu kejujuran itu bermanfa’at”.
Apabila ada kalam wahem yg meng-ilgha-kan padahal ia ada di awal kalimat, maka dihukumi menyimpan dhamir syaen atau lam ibtida’, contoh:
‘ALIMTU AS-SHIDQU NAAFI’UN
Takdir dhamir syaen :
‘ALIMTU HU ASSHIDQU NAAFI’UN
Takdir lam ibtida’:
‘ALIMTU LASSHIDQU NAAFI’UN

Hukum TA’LIQ (pembatalan amal secara lafzhan bukan mahallan). Dikarenakan ada Mani’ atau pencegah. Pencegah tersebut berupa:
1. Huruf nafi (MAA, IN dan LAA) contoh:
وَظَنُّوا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍ
وَيَعْلَمَ الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِنَا مَا لَهُمْ مِنْ مَحِيصٍ
وَتَظُنُّونَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا
2. Lam Ibtida’ contoh:
وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ
3. Lam Qosam contoh:
علمت ليحاسبن المرء على عمله
4. Istifham, contoh:
لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى
وَإِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ أَمْ بَعِيدٌ مَا تُوعَدُونَ
……………

لِعِلْمِ عِرْفَانٍ وَظَنَ تُهَمَهْ تَعْدِيَةٌ لِوَاحِدٍ مُلْتَزَمَهْ

Bagi lafazh ‘ILMUN (yg mempunyai arti) ‘IRFAANUN (mengenal) dan ZHONNUN (yg mempunyai arti) TUHAMATUN (menuduh), lazimnya muta’addi pada satu maf’ul.

وَلِرَأَى الْرُّؤيَا انْمِ مَا لِعَلِمَا طَالِبَ مَفْعُوْلَيْنِ مِنْ قَبْلُ انْتَمَى

Dan bagi lafazh RO-A (yg mempunyai arit RU-YAA (bermimpi) golongkanlah! pada hukum golongan lafazh ‘ALIMA dengan menuntut dua maf’ul, sebagaimana disebutkan pada bait sebelumnya (lihat disini awal bait bab zhanna CS).

وَلاَ تُجِزْ هُنَا بِلاَ دَلِيْلٍ سُقُوْطَ مَفْعُوْلَيْنِ أَوْ مَفْعُوْلِ

Di sini (bab zhanna CS) janganlah kamu memperbolehkan membuang dua maf’ul ataupun satu maful dengan tanpa adanya dalil (yakni boleh apabila ada dalil/penunjukan lafazh)

وَكَتَظُنُّ اجْعَلْ تَقُوْلُ إِنْ وَلِي مُسْتَفْهَماً بِهِ وَلَمْ يَنْفَصِلِ

Jadikanlah untuk lafazh TAQUULU (berbentuk fi’il mudhari’ mukhathab) berlaku seperti hukum TAZHUNNU, jika ia mengiringi langsung adat istifham dengan tidak terpisah…. < ke bait berikutnya >

بِغَيْرِ ظَرْفٍ أَوْ كَظَرْفٍ أَوْ عَمَلْ وَإِنْ بِبَعْضِ ذِي فَصَلْتَ يُحْتَمَلْ

Selain terpisah oleh Zhorof atau yg serupa Zhorof (jar-majrur) atau ma’mulnya. Jika kamu pisahkan dengan sebagian pemisah ini, maka pemisahan ini dibenarkan.

وَأُجْرِيَ الْقَوْلُ كَظَنَ مُطْلَقَا عِنْدَ سُلَيْمٍ نَحْو قُلْ ذَا مُشْفِقَا

Juga lafazh QAUL diberlakukan seperti hukum ZHANNA secara mutlak (tanpa syarat) demikian menurut logat Bani Sulaim, contoh: QUL! DZAA MUSYFIQAN

۞ A’lama dan Aroo ۞

أَعْلَمَ وَأَرَى

BAB A’LAMA DAN AROO

إِلَى ثَلاَثَةٍ رَأَى وَعَلِمَا عَدَّوْا إذَا صَارَا أَرَى وَأَعْلَمَا

Mereka (Ulama Nuhat) memuta’addikan lafazh ‘ALIMA dan RO-A kepada tiga Maf’ul bilamana kedua lafazh tsb menjadi A’LAMA dan AROO (dengan menambah Hamzah Ta’diyah di awal kalimah).

وَمَا لِمَفْعُوْلَيْ عَلِمْتُ مُطْلَقَا لِلْثَّانِ وَالْثَالِثِ أَيْضَاً حُقِّقَا

Hukum yg berlaku untuk kedua Maf’ul lafazh ‘ALIMTU secara mutlak (lihat pada bab Zhanna cs), juga diberlakukan untuk Maf’ul yg kedua dan Maf’ul yg ketiga (pada Bab A’lama dan Aroo ini)

وَإِنْ تَعَدَّيَا لِوَاحِدٍ بِلاَ هَمْزٍ فَلِاثنَيْنِ بِهِ تَوَصَّلاَ

Jika kedua lafazh tersebut muta’addi kepada satu maf’ul ketika tanpa hamzah (‘ALIMA/RO-A yg mempunyai arti AROFA/BASHARO “mengenal/melihat), maka menjadi muta’addi kepada dua Maf’ul ketika bersambung dengan hamzah (A’LAMA/AROO “memperkenalkan/memperlihatkan)

وَالْثَانِ مِنْهُمَا كَثَانِي اثْنَيْ كَسَا فَهْوَ بِهِ فِي كُلِّ حُكْمٍ ذُو ائْتِسَا

Maf’ul yg kedua dari kedua Maf’ul (A’LAMA/AROO yg muta’addi pada dua Maf’ul) seperti hukum Maf’ul yg kedua dari kedua Maf’ul lafazh KASAA, maka ia (Maf’ul kedua A’lama/Aroo) di dalam semua hukumnya sebagai pengikut jejaknya (Maf’ul kedua Kasaa).

وَكَأَرَى الْسَّابِقِ نَبَّا أَخْبَرَا حَدَّثَ أَنْبأَ كَذَاكَ خبَّرَا

Juga seperti hukum lafazh AROO yg lalu (maksudnya yg muta’addi pada tiga Maf’ul) yaitu lafazh NABBA-A (memberitakan), AKHBARO (mengabarkan), HADDATSA (menceritakan), ANBA-A (memberitakan) demikian juga lafazh KHOBBARO (memberitakan).

۞ Isim Fa’il ۞

الْفَاعِلُ

FAA’IL (subjek pekerja)

HUKUM I’ROB FA’IL ROFA’

الْفَاعِلُ الَّذِي كَمَرْفُوعَيّ أَتَى زَيْدٌ مُنِيْرَاً وَجْهُهُ نِعْمَ الْفَتَى

Yang disebut Fa’il adalah seperti kedua lafazh yg dirofa’kan dalam contoh: “ATAA ZAIDUN MUNIIRON WAJHUHU NI’MAL FATAA = zaid datang dengan berseri-seri wajahnya seorang pemuda yg beruntung”

Yakni, (1).  Fa’il yg dirofa’kan oleh fi’il mutashorrif atau oleh fi’il jamid seperti contoh “ATAA ZAIDUN dan NI’MAL FATAA”. (2).  Fa’il yg dirofa’kan oleh syibhul fi’li/serupa pengamalan fi’il seperti contoh: MUNIIRON WAJHU HU.

HUKUM POSISI FA’IL ADA SETELAH FI’IL

وَبَعْدَ فِعْل فَاعِلٌ فَإِنْ ظَهَرْ فَهْوَ وَإِلاَّ فَضَمِيْرٌ اسْتَتَرْ

Faa’il adanya setelah Fi’il, maka jika nampak itulah Fa’ilnya (berupa Isim Zhahir atau Dhamir Bariz) dan jika tidak nampak maka Fa’ilnya berupa Dhamir yg tersimpan (dhamir mustatir).

HUKUM FA’IL ZHOHIR BENTUK DUAL ATAU JAMAK FI’ILNYA TETAP BENTUK MUFROD

وَجَرِّدِ الْفِعْلَ إِذَا مَا أُسْنِدَا لاِثْنَيْنِ أَوْ جَمْعٍ كَفَازَ الْشُّهَدَا

Kosongkanlah Kalimah Fi’ilnya (kosong tanpa tanda dhamir) apabila ia dimusnadkan/disandarka pada Fa’il Zhohir Mutsanna ataupun Jamak, contohnya seperti: “Faaza as-Syuhada = Jayalah para Syuhada”

FAA’IL DARI FI’IL YG DIBUANG

وَقَدْ يُقَالُ سَعِدَا وَسَعِدُوا وَالْفِعْلُ لِلْظَّاهِرِ بَعْدُ مُسْنَدُ

Dan terkadang diucapkan “SA’IDAA” juga “SA’IDUU” (menetapkan alif atau wawu sebagai huruf tanda tatsniyah atau jamak, bukan sebagai fa’il isim dhamir) beserta Fi’ilnya tetap menjadi Musnad bagi fa’il Isim Zhahir setelahnya. (contoh: “SA’IDAA AT-THALIBAANI = dua siswa berbahagia” atau SA’IDUU AT-THULLAABU = para siswa berbahagia).

demikian menurut sebagian lahjah orang Arab alif atau wawu difungsikan sebagai huruf tanda tatsniyah dan jamak seperti huruf TA’ tanda mu’annats. sebagaimana mereka mengatakan AKALUUNII AL-BARAAGHITSU “kutu-kutu itu memakanku”. Dan lain lagi menurut mayoritas, kalam seperti itu tetap menfungsikan alif dan wawu isim dhamir sebagai Fa’ilnya, sedangkan isim zhahir setelahnya sebagai badal bagi isim dhamir atau pula sebagai mubtada’ yg diakhirkan.

Contoh firman Allah:

وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka (al-Anbiyaa’ : 3)

ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ
kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). (al-Maa-dah : 71)

وَيَرْفَعُ الْفَاعِلَ فِعْلٌ أضْمِرَا كَمِثْلِ زَيْدٌ فِي جَوَابِ مَنْ قَرَا

Kalimah Fi’il yg tersimpan merofa’kan Faa’il, adalah semisal contoh : “ZAIDUN” (takdirannya QORO-A ZAIDUN = Zaid membaca) pada jawaban pertanyaan: MAN QORO-A? = siapa yg membaca?

Faa’il ada yg dirofa’kan oleh Fi’il yg disimpan. Baik penyimpanan fi’il itu bersifat jawazan, semisal menjadi jawab Istifham sebagaimana contoh yg diangkat oleh Mushannif dalam bait diatas, atau menjadi jawab Nafi seperti contoh “MAA QORO-A HU AHADUN” (seorangpun tidak membacanya) maka dijawab “BALAA ZAIDUN ” (takdirannya BALAA QORO’A HU ZAIDUN = ya… zaid telah membacanya).

Contoh Firman Allah Swt:

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, (az-Zukhruf : 87)

Atau penyimpanan fi’il itu bersifat wujuban, semisal faa’ilnya jatuh sesudah IN syarthiyyah atau IDZA syarthiyyah. Contoh “IN DHO’IIFUN ISTANSHURUKA FANSHURHU!” (jika seorang yg lemah yakni minta tolong kepadamu maka tolonglah!) lafazh DHO’IIFUN manjadi faa’il dari fi’il yg wajib dibuang, takdirannya ISTANSHURUKA DHO’IIFUN.

Contoh Firman Allah:

إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ
jika seorang meninggal dunia …. (An-Nisaa’ 176)

إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ
Apabila langit terbelah (Al-Insyiqaaq :1)

PERIHAL TA TANITS SAKINAH/TA SUKUN TANDA MUANNATS PADA KALIMA FI’IL

وَتَاءُ تَأْنِيْثٍ تَلِي الْمَاضِي إِذَا كَانَ لأنْثَى كَأَبَتْ هِنْدُ الأَذَى

Huruf Ta’ tanda Muannats mengiringi Fi’il Madhi bilamana dimusnadkan kepada Muannats. Seperti contoh: ABAT HINDUN AL-ADZAA = Hindun menghindari hal yg merugikan.

Apabila Fi’il Madhi dimusnadkan kepada Muannats, maka diberi Ta’ sukun tanda muannats sebagai penujukan bahwa Faa’ilnya Muannats. Baik Muannats Hakiki sebagaimana contoh dalam bait diatas oleh mushannif. Ataupun Muannats Majazi, contoh: THOLA’AT ASY-SYAMSU = Matahari telah terbit.

وَإِنَّمَا تَلْزَمُ فِعْلَ مُضْمَرِ مُتَّصِلٍ أَوْ مُفْهِمٍ ذَاتَ حِرِ

Sesungguhnya Ta’ Ta’nits tsb hanya diwajibkan pada kalimah Fi’il yg punya Faa’il Dhamir Muttashil, atau Faa’il Zhahir Muttashil yg memberi pemahaman memiliki farji (Muannats Haqiqi)

Perihal tanda muannats/TA ta’nits pada kalimah Fi’il tsb sebagaimana Bait diatas adalah Lazim/wajib.
Contoh TA tanits lazim/wajib:
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR muttashil / mustatir yg kembali pada muannats baik haqiqi ataupun majazi.
Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Haqiqi :
HINDUN QOOMAT = Hindun berdiri, HINDAANI QOOMATAA = dua Hindun berdiri.

Contoh firman Allah:

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ
Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: (Ali Imran : 36)

Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Majazi:
AS-SYAMSU THOLA’AT = matahari terbit. AL-‘AINAANI NAZHOROTAA = dua mata melihat.
Contoh firman Allah:

كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir (Al Baqarah 261)

2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Haqiqi yg muttashil/b ersambung langsung. Contoh:
QOOMAT HINDUN = Hindun berdiri, QOOMAT AL-HIDAANI = dua Hindun berdiri, QOOMAT AL-HINDAATUN = banyak Hindung berdiri.

Contoh Firman Allah:

وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ
Dan berkatalah isteri Fir’aun:… (alQashash : 9)

Selain dua parameter diatas maka ta ta’nits dihukumi Jawaz, contoh :
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR munfashil
MAA QOOMA ILLA HIYA =Tidak berdiri kecuali dia (lebih baik tanpa ta’ ta’nits)

2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Majazi, contoh:
THOLA’AT AS-SYAMSU = Matahari telah terbit. (boleh memakai ta’ ta’nits atau tidak).

Contoh Firman Allah :
Dengan memakai ta’ ta’nits:
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
maka tidaklah beruntung perniagaan mereka (AlBaqarah:16)

Tanpa Ta’ ta’nits:
وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
dan matahari dan bulan dikumpulkan (al-Qiyaamah:9)

وَقَدْح يُبِيْحُ الْفَصْلُ تَرْكَ الْتَّاءِ فِي نَحْوِ أَتَى الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِفِ

Terkadang Fashl itu (pemisah antara fi’il dan Faa’il yg muannats haqiqi) membolehkan meninggalkan TA tanda muannats (tanpa TA pada fi’ilnya) dalam contoh: “ATAA AL-QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI” = “putri seorang yg menetap itu mendatangi qodhi/hakim” (yakni, lebih baik pakai TA manjadi “ATAT AL-QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI”)

KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’ilnya yg muannats haqiqi tersebut terdapat Fashl/pemisah yg selain lafazh ILLA. Maka kalimah Fi’ilnya boleh tanpa memakai TA tanda muannats namun yg lebih baik dengan tetap memakai TA tanda muannats. Contoh sebagaimana bait diatas: boleh “ATAA” yang terbaik: “ATAT”.

وَالْحَذْفُ مَعْ فَصْلٍ بِإِلاَّ فُضِّلاَ كَمَا زَكَا إِلاَّ فَتَاةُ ابْنِ الْعَلاَ

Membuang TA tanda muannats bersamaan adanya Fashl dengan ILLA, adalah diutamakan. Seperti contoh: MAA ZAKAA ILLA FATAATU IBNIL-ALAA” = “tidak seorang yg baik kecuali gadis putri Ibnul-Alaa.

KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’il muanntas tsb terdapat Fashl/pemisah yg berupa ILLA, maka menurut Jumhur Nuhat tidak boleh menetapkan TA tanda muannats. Contoh MAA QAAMA ILLA HINDUN dan MAA THALA’A ILLA AS-SYAMSU, maka tidak boleh mengatakan MAA QAAMAT ILLA HINDUN atau MAA THALA’AT ILLA AS-SYAMSU. Kecuali dalam hal ini ada syair arab yg menetapkan TA muannats tapi sangat jarang sekali adanya

وَالْحَذْفُ قَدْ يَأْتِي بِلاَ فَصْلٍ وَمَعْ ضَمِيْرِ ذِي الْمَجَازِ فِي شِعْرٍ وَقَعْ

Pembuangan TA’ tanits (pada kalimah fi’il yg mempunyai Faa’il Muannats Haqiqi) kadang terjadi dengan tanpa adanya Fashl (lafazh pemisah antara fi’il dan faa’ilnya). Dan pembuangan ini juga pernah terjadi pada sebuah syair, beserta Faa’ilnya berupa Dhamir muannats Majazy.

KET:
Pernah terjadi pada Kalam Arab membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg bersambung langsung tanpa Fashl pada faa’il isim zhahir muannats hakiki. Demikian adalah Syadz dan jarang adanya. Contoh hikayah orang arab yg mengatakan: “QOOLA FULAANATUN” = Si Fulan (Pr) berkata”.

Juga pernah terjadi hanya khusus pada sebuah syair, membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg mempunyai faa’il dhamir muannats Majazy. Contoh ” WA LAA ARDHA ABQOLA” = “tidak ada bumi yg menumbuhkan tunas” pada sebuah Syair Jahiliyah oleh Amir Bin Juwain At-tho-iy yg menggambarkan keadaan suatu daerah yg sangat subur gemah ripah loh jinawi:

فلا مُزْنَةٌ وَدَقَتْ وَدْقَها # ولا أَرْضَ أبقَلَ إبْقالَها

“tidak ada awan yg mencurahkan curahan hujannya dan tidak ada bumi pun yg menumbuhkan tumbuhan tunasnya (seperti daerah ini).

وَالتَّاءُ مَعْ جَمْعٍ سِوَى الْسَّالِمِ مِنْ مُذَكَّرٍ كَالْتَّاءِ مَعْ إِحْدَى اللَّبِنْ

Hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim adalah seperti hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai mufradnya lafazh “LABINUN” (yaitu lafazh “LABINATUN”=batu bata. Yakni Muannats Majazy)

KET:

Hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il Isim Zhahir Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim adalah Jawaz (Boleh membuang ta’ ta’nist atau tidak), seperti hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il isim Zhahir Mu’annats Majazi.

Contoh:

1- Faa’ilnya berupa Jamak Muannats Salim: “JAA-AT MUA’ALIMAATUN” atau “JAA-A MU’ALLIMAATUN” =para pengajar (pr) telah datang.

2- Faa’ilnya berupa Jamak Taksir: “JAA-A RIJAALUN” atau “JAA-AT RIJAALUN”
Contoh dalam AL-Qur’an
memakai Ta’ Ta’nits:
لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran (Al-A’rof : 43)
Tanpa Ta’ Ta’nits:
قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي
.” Katakanlah: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelumku (Ali Imran : 183)

3. Termasuk juga Faa’ilnya berupa Ismu Jam’in (Isim Jama’): “JAA-A QOUMUN” atau “JAA-AT QOUMUN” = Kaum telah datang.

Contoh dalam Al-Qur’an

Memakai ta’ ta’nits:
فَآمَنَتْ طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَتْ طَائِفَةٌ
lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir (ash-Shof:14)

Tanpa Ta’ Ta’nits:
بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ غَيْرَ الَّذِي تَقُولُ
segolongan dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi (An-Nisaa’ : 81)

وَالْحَذْفَ فِي نِعْمَ الْفَتَاةُ اسْتَحْسَنُوا لأَنَّ قَصْدَ الْجِنْسِ فِيْهِ بَيِّنُ

Ulama Nuhat memandang baik terhadap pembuangan Ta’ ta’nits dalam contoh: “NI’MAL-FATAATU” karena bertujuan jenis nampak jelas didalamnya.

KET:

Demikian juga dihukumi Jawaz penggunaan TA ta’nits pada kalimah fi’il golongan NI’MA cs (Af’aalul-Mad-hi aw Af’aaludz-zdimmi) yang Faa’ilnya berupa isim Zhahir Mu’annats baik majazi atau haqiqi. Alasan hukum Jawaz karena Faa’ilnya dimaksudkan sebagai Jenis. diserupakan fi’il yg musnad pada Faa’il Jamak dalam hal subjeknya berbilangan. Contoh:

NI’MA AL-FATAATU = sebaik-baiknya pemudi (AL dalam lafazh AL-FATAATU sebagai AL jinsiyyah).

Boleh membuang ta’ ta’nits karena dipandang baik, namun menetapkan ta’ ta’nits adalah pilihan yg terbaik.

POSISI FA’IL

وَالأَصْلُ فِي الْفَاعِلِ أَنْ يَتَّصِلاَ وَالأَصْلُ فِي الْمَفْعُولِ أَنْ يَنْفصِلَا

Asal penyebutan Faa’il harus Ittishal/bersambung (antara Fi’il dan Faa’ilnya tanpa ada pemisah). Dan asal penyebutan Maf’ul harus Infishal/berpisah (antara Fi’il dan Maf’ulnya dgn dipisah oleh Faa’ilnya).

وَقَدْ يُجَاءُ بِخِلافِ الأَصْل وَقَدْ يَجِي الْمَفْعُوْلُ قَبْلَ الْفِعْلِ

Terkadang juga didatangkannya dengan Hukum yg menyalaihi Asal, dan terkadang juga Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya.

KETERANGAN:

hukum asal Faa’il ada setelah Fi’ilnya. Dan hukum asal Maf’ul berpisah dengan Fi’ilnya yakni berada setelah Faa’il. (FI’IL > FAA’IL > MAF’UL) contoh:

وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (An-Naml : 16)

Terkadang membedakan dengan hukum asal, yakni Maf’ul disebut sebelum Faa’ilnya. Contoh:

إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ
ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut (Al-Baqarah : 133)

Atau Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya. Contoh:

فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Al-Baqarah : 87)

وَأَخِّر الْمَفْعُولَ إِنْ لَبْسٌ حُذِرْ أَوْ أُضْمِرَ الْفَاعِلُ غَيْرَ مُنْحَصِرْ

Akhirkanlah Maf’ulnya! (wajib berada setelah Faa’il) jika ada kesamaran yg harus dihindarkan (demi menjaga ketidakjelasan antara faa’il dan mafulnya) atau Faa’ilnya berupa Dhamir selain yg dimahshur (yg diperkecualikan).

KETERANGAN :

Faa’il wajib dikedepankan dan Maf’ul di belakangnya, demikian apabila ditakutkan ada ketidakjelasan antara Faa’il dan Maf’ul, misalkan apabila i’rob antara keduanya samar. Contoh “DHARABA MUSA ‘ISA”. Atau faa’ilnya berupa dhamir selain yg dimahshur contoh: “DHARABTU ZAIDAN” apabila faa’ilnya berupa dhamir yg dimahshur maka wajib diakhirkan, contoh: “MAA DHARABA ZAIDAN ILLA ANA”

وَمَا بِإِلاَّ أَوْ بِإِنَّمَا انْحَصَرْ أَخِّرْ وَقَدْ يَسْبِقُ إِنْ قَصْدٌ ظَهَرْ

Terhadap suatu (Faa’il atau Maf’ul) yang dimahshur dengan ILLAA atau dengan INNAMAA, akhirkanlah! (diakhirkan dari suatu yg tidak dimahshur). # Terkadang suatu (Faa’il atau Maf’ul) yg dimahshur mendahului yg tidak dimahshur, jika maksudnya sudah jelas.

KETERANGAN:

Salah satu dari Fa’il atau Maf’ul yang dimahshur harus diakhirkan dari bagian yg tidak dimahshur, baik alat mahshurnya menggunakan INNAMA ataupun menggunakan ILLA.

Contoh mengakhirkan Fa’il yg dimahshur dan mengedepankan Maf’ulnya:

“MAA DHARABA AMRAN ILLA ZAIDUN” = tiada yg memukul Amr kecuali hanya Zaid
“INNAMA DHARABA AMRAN ZAIDUN” = hanya Zaid saja yg memukul Amr

Contoh dlm Al-Qur’an:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Faatihir :28)

Contoh mengakhirkan Maf’ul yg dimahshur dan mengedepankan Faa’ilnya:

“MAA DHARABA ZAIDUN ILLA AMRAN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada Amr
“INNAMA DHARABA ZAIDUN AMRAN” = Zaid memukul hanya kepada Amr saja

Terkadang lafazh yg dimahshur -baik sebagai faa’il atau Maf’uul- dikedepankan dari lafazh yg tidak dimahshur apabila sudah jelas dan nyata mana lafazh yg dimahshur dan mana yang tidak. Demikian apabila alat mahshurnya berupa ILLA karena lafazh yg jatuh sesudah ILLA tentunya yg dimahshur. Apabila alat mahshurnya menggunakan INNAMA, maka tidak boleh mengedepankan lafazh yg dimahshur sebab tidak ada kejelasan.

Contoh boleh mengedepankan Maf’ul yg dimahshur dengan ILLA :

“MAA DHARABA ILLA AMRAN ZAIDUN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada Amr

وَشَاعَ نَحْوُ خَافَ رَبَّهُ عُمَرْ وَشَذَّ نَحْوَ زَانَ نَوْرُهُ الْشَّجَرْ

Terkenal penggunaan kalimat seperti: “KHOOFA ROBBAHU ‘UMARU=Umar takut pada Tuhannya” (yakni, mengedepankan Maf’ul yg memuat Dhamir merujuk pada Fa’il di belakangnya). Dan Syadz penggunaan kalimat seperti: “ZAANA NAURUHU ASY-SYAJARO=bunga-bungaan pada pepohonan menghiasi pepohonan” (yakni, mengedepankan Fa’il yg memuat Dhamir merujuk pada Maf’ul di belakangnya).

KETERANGAN:

Apabila pada Maf’ul terdapat dhamir yg merujuk pada Fa’il, maka boleh maf’ul tsb dikedepankan dari Fa’ilnya. Sebab dhamir tsb hanya merujuk ke belakang secara lafzhan/lafazhnya bukan secara rutbatan/tingkatannya, karena status tingkatan/pangkat maf’ul ada dibelakang/dibawah fa’il seperti yg telah dijelaskan pada bait lalu bahwa hukum asal fa’il di depan dan maf’ul dibelakang.

Sebaliknya dilarang mengedepankan Fa’il yg memuat dhamir merujuk pada Maf’ul yg dibelakang. sebab dhamir akan merujuk kebelakang secara Lafzhan wa Rutbatan.

۞ Naibul Fa’il ۞

الْنَّائِبُ عَنِ الْفَاعِلِ

NAIBUL FA’IL

يَنُوْبُ مَفْعُوْلٌ بِهِ عَنْ فَاعِلِ ¤ فِيْمَا لَهُ كَنِيْلَ خَيْرُ نِائِلِ

Maf’ul bih menggantikan Fa’il di dalam semua hukumnya. Seperti contoh: “NIILA KHOURU NAA-ILI=anugerah terbaik telah diperoleh” .

KETERANGAN:

Naibul Fa’il adalah Isim yg dirofa’kan baik secara lafzhan atau mahallan, menggantikan dan menempati tempatnya fa’il yg dibuang dan fi’ilnya dibina’ Majhul. Baik isim yg menggantikan itu asalnya berupa Maf’ul bih atau serupanya semisal Zhorof, Masdar, Jar-majru dll.

Dengan demikian pembuangan Fa’il dalam hal ini menimbulkan dua keputusan:
1. Merubah Fi’ilnya ke bentuk Majhul
2. Menempatkan Pengganti Fa’il pada posisi Fa’il beriku hukum2nya sebagaimana telah disebutkan dalam Bab Faa’il– semisal harus Rofa’, harus berada setelah Fi’ilnya, sebagai subjek pokok kalimat, hukum ta’nits pada fi’ilnya, dll.

فَأَوَّلَ الْفِعْلِ اضْمُمَنْ وَالْمُتَّصِلْ ¤ بِالآخِرِ اكْسِرْ فِي مُضِيَ كَوُصِلْ

Dhommahkan huruf pertama Kalimah Fi’il (Mutlak, baik Madhi atau Mudhari yg dibentuk Majhul). Dan kasrohkan huruf yg bersambung dengan akhir (yakni, huruf sebelum akhir) pada Kalimah Fi’il Madhi seperti contoh: WUSHILA

وَاجْعَلْهُ مِنْ مُضَارِعٍ مُنْفَتِحَا ¤ كَيَنْتَحِي الْمَقُول فِيْهِ يُنْتَحَى

Dan jadikanlah huruf sebelum terakhir dari Fi’il Mudhari dengan berharkat Fathah, demikian seperti YANTAHII diucapkan menjadi YUNTAHAA.

KETERANGAN:

Telah disebutkan bahwa syarat Naa’ibul Faa’il adalah Fi’ilnya harus dibentuk “Mabni Majhul”. Caranya sebagai berikut:

1. Apabila Fi’il Madhi, maka huruf awal didhammahkan dan huruf sebelum akhir dikasrahkan. Contoh :

فُتِحَ بابُ الرزق
FUTIHA BAABUR-RIZQI = pintu rezki telah dibuka

شُرِبَ العسلُ
SYURIBA AL-‘ASALU = madu telah diminum

2. Apabila Fi’il Mudhari, maka maka huruf awal didhammahkan dan huruf sebelum akhir difat-hahkan. Contoh:

يُحترَمُ العالم
YUHTAROMU AL-‘AALIMU = orang alim dihormati

يُتَعلّم النحو
YUTA’ALLAMU ANNAHWU = ilmu Nahwu dipelajari

وَالْثَّانِيَ الْتَّالِي تَا الْمَطَاوعَهْ ¤ كَالأَوَّلِ اجْعَلْهُ بِلاَ مُنَازَعَهْ

Huruf kedua yang mengiringi Ta’ Muthowa’ah, jadikanlah seperti huruf yg pertama dengan tanpa pertentangan (yakni sama-sama dikarkati Dhommah).

وَثَالِثَ الَّذِي بِهَمْزِ الْوَصْلِ ¤ كَالأَوَّلِ اجْعَلَنَّهُ كَاسْتُحْلِي

Huruf ketiga dari fi’il yg ber-hamzah washal, juga jadikanlah seperti huruf yg pertama (yakni sama-sama dikarkati Dhommah) Seperti contoh: USTUHLIY.

KETERANGAN:

Lanjutan dari bait sebelumnya tentang menjadikan Fi’il Mabni Majhul:

Apabila kalimah fi’il diawali dengan Ta’ Muthowa’ah atau Ta’ zaidah semisalnya, maka huruf pertama dan kedua diharkati Dhommah. Contoh:

تُعُلّم النحوُ
TU’ULLIMA ANNAHWU = ilmu nahwu dipelajari

Dan Apabila kalimah fi’il diawali dengan Hamzah Washal, maka huruf pertama dan ketiga diharkati Dhommah. Contoh:

اُسْتُحْلي الشراب
USTUHLIY ASY-SYAROOBU = minuman didapati manis

وَاكْسِرْ أَوَ اشْمِمْ فَاثُلاَثِيَ أُعِلّ ¤ عَيْناً وَضَمٌّ جَا كَبُوعَ فَاحْتُمِلْ

Harkatilah Kasroh atau dibaca Isymam terhadap FA’ Fi’il Tsulatsi Mu’tal ‘Ain. Adapun Dhommah datang semisal “BUU’A” demikian dima’afkan.

KETERANGAN:

Kelanjutan dari bait sebelumnya perihal membuat Fi’il Mabni Majhul:

Apabila berupa Fi’il Madhi tiga huruf (Tsulatsi) yg ‘ain fi’ilnya terdiri dari huruf illat baik wawu atau ya (Mu’tal ‘Ain), maka boleh dibaca tiga jalan:

1. Dibaca Kasrah, huruf illat digant ya’, contoh:
صيم رمضان
SHIIMA ROMADHOONU = Bulan Ramadhan dipuasai (Bulan Ramadhan dijadikan waktu berpuasa)

2. Dibaca Isymam, suara harkat antara Dhommah pendek dan Kasroh panjang dengan berurutan secara cepat. Contoh “QUIILA” dan “GHUIIDHA” bacaan qiro’ah sab’ah pada ayat berikut:

وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ
Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan

3. Dibaca Dhammah (bacaan paling dha’if), huruf illat diganti wawu seperti BUU’U. contoh dalam syair:

ليتَ وهل ينفع شيئاً ليتُ # ليتَ شباباً بوع فاشتريت

وَإِنْ بِشَكْلٍ خِيْفَ لَبْسٌ يُجْتَنَبْ وَمَا لِبَاعَ قَدْ يُرَى لِنَحْو حَبّ

Jika ditakuti ada kesamaran pada suatu syakal/corak, maka syakal demikian harus dihindari. Dan corak yg ada pada lafal “BAA’A” terkadang dijadikan pertimbangan untuk lafazh semisal “HABBA”.

KETERANGAN:

Perihal corak bacaan antara Isymam , Dhommah , dan Kasroh pada kalimah Fi’il Madhi Tsulatsi Mu’tal ‘Ain yg musnad pada Dhamir TA’ Mutakallim, TA’ Mukhotob atau Nun Niswah, ketika dibentuk MABNI MAJHUL.

“JIKA DITAKUTI ADA KESAMARAN PADA SUATU SYAKAL, MAKA SYAKAL DEMIKIAN HARUS DIHINDARI” (Ibnu Malik).

Semisal “BI’TU” ketika dibentuk Mabni Majhul , huruf pertama boleh dibaca Dhommah atau Isymam: “BU’TU” atau “BUI’TU”. Jangan dibaca Kasroh: “BI’TU” karena takut terjadi kesamaran antara mana yg Mabni Ma’lum dan mana yang Mabni Majhul.

Dan semisal “SUMTU” ketika dibentuk Mabni Majhul , huruf pertama boleh dibaca Kasroh atau Isymam: “SIMTU” atau “SUIMTU”. Jangan dibaca Dhommah : “SUMTU” karena takut terjadi kesamaran antara mana yg Mabni Ma’lum dan mana yang Mabni Majhul.

Demikian menurut Mushannif tentang keharusan menghindari dari kesamaran syakal, dan beliau menjelaskan dalam Syarah Al-Kafiyah bahwa pendapatnya tidaklah bertentangan dengan pendapat Imam Sibawaihi yg membolehkan secara mutlak penggunaan tiga corak bacaan diatas. Imam Sibawaihi berpendapat bahwa mereka dapat membedakannya secara takdiran antara Mabni Fa’il dan Mabni Maf’ul baik Isim atau Fi’il seperti lafal “MUKHTAARUN” dan “TUDHOORRO”. Oleh karenanya menghindari Iltibas/kesamaran dalam hal ini tidaklah wajib.

Apabila kalimah Fi’il Madhi Tsulatsi berupa Bina’ Mudho’af, semisal ‘ADDA, maka ketika dibentuk mabni Majhul boleh dibaca dengan tiga corak bacaan seperti BI’TU, yakni yang paling rojih dibaca Dhommah menjadi ‘UDDA, atau dibaca Isymam UIDDA ,atau dibaca kasroh ‘IDDA.

وَمَا لِفَا بَاعَ لِمَا الْعَيْنُ تَلِي فِي اخْتَارَ وَانْقَادَ وَشِبْهٍ يَنْجَلِي

Hukum bacaan (Dhommah, Kasroh, Isymam) bagi Fa’ Fi’il lafaz BAA’A, berlaku juga bagi Huruf sebelum ‘Ain Fi’il pada lafaz IKHTAARO dan INQAADA dan lafaz yg nampak serupanya.

KETERANGAN:

Lanjutan dari bet sebelumnya – Apabila Fi’il Madhi yg mu’tal ‘Ain tsb mengikuti wazan IFTA’ALA atau INFA’ALA, maka ketika dibentuk Mabni Majhul, huruf sebelum ‘Ain Fi’ilnya boleh dibaca DHOMMAH, KASRAH dan ISYMAM. Lebih baik dibaca Kasrah apabila Mu’tal ‘Ain Yaiy dan dibaca Dhommah apabil Mu’tal ‘Ain Wawiy.

Contoh Mu’tal ‘Ain yang Wawiy:

انقاد الطلاب للمعلم
INQAADA AT-THULLABU LIL MU’ALLIMI = murid-murid itu patuh pada gurunya

Dibentuk Mabni Majhul yg terbaik dibaca Dhommah :

انقود للمعلم
UNQUUDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

atau dibaca Kasroh:

انقيد للمعلم
INQIIDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

Atau dibaca Ismam

انقود للمعلم
UNQUIIDA LIL MUA’ALLIMI = gurunya itu dipatuhi

============

Contoh Mu’tal ‘Ain yang Yaiy:

اختار المعلم علياً
IKHTAARO AL-MU’ALLIMU ‘ALIYYAN = Guru itu memilih Ali

Dibentuk Mabni Majhul yg terbaik dibaca Kasroh :

اختير عليٌّ
IKHTIIRO ‘ALIYYUN = Ali dipilih

atau dibaca Dhommah:

اختور عليٌّ
UKHTUURO ALIYYUN = Ali dipilih

Atau dibaca Ismam

اختير عليٌّ
UKHTUIIRO ALIYYUN = Ali dipilih

وقابِِلٌ مِن ظَرفٍ أو مِن مَصدَرِ أو حَرفِ جَرٍّ بِنِيابَةٍ حَرِي

Lafazh yang dapat menerima pergantian (sebagai Naibul Fa’il) yg berupa Zhorof, Masdar atau Jar-Majrur, adalah layak (dijadikan Naibul Fa’il).

KETERANGAN:

Disebutkan pada bait pertama bahwa Maf’ul Bih menggantikan Fa’il yg tidak dihadirdkan, yakni sebagai Naibul Fa’il. Selain Maf’ul Bih ada lagi lafazh serupanya yg layak dijadikan Naibul Fa’il, yaitu Zhorof, Masdar dan Jar-Majrur, dengan ketentuan memenuhi syarat sebagai pengganti:

Syarat lafazh ZHOROF yang layak dijadikan Naibul Fa’il adalah harus Mutashorrif dan Mukhtash:

1. MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari lafazh yg khusus dinashobkan sebab Zhorfiyah saja semisal “SAHARO”, dan atau boleh majrur hanya oleh huruf MIN saja semisal “‘INDAKA”.
Sebab kalau dijadikan Naibul-Fa’il, maka akan menjadi Rofa’ dan ini menyalahi ketentuan Bahasa Arab yg telah memberlakukan khusus semisal pada dua lafazh tersebut diatas.

2. MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh MUBHAM/samar. Karena mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi Mukhtash/tertentu adalah dengan dimudhafkan, disifati, atau sebagainya.

Contoh:
صيم يومُ الخميس
SHIIMA YAUMUL KHOMIISI = hari kamis dipuasakan (puasa kamis)
Lafazh YAUMU mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab mudhaf.

جُلس وقتٌ طويل
JULISA WAQTUN THOWIILUN = waktu yg panjang didudukkan (duduk lama)
Lafazh WAQTUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati.

صيم رمضانُ
SHIIMA ROMADHOONU = bulah Ramadhan dipuasakan (puasa ramadhan)
Lafazh ROMADHOONU mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab ‘Alamiyyah/Isim ‘Alam.

=====

Syarat lafazh MASDAR yang layak dijadikan Naibul Fa’il, juga harus Mutashorrif dan Mukhtash:

1. MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari lafazh yg khusus dinashobkan sebab Masdariyah saja semisal “SUBHAANALLAHI” dan “MA’AADZALLAAHI”.
Sebab kalau dijadikan Naibul-Fa’il, maka akan menjadi Rofa’ dan ini menyalahi ketentuan Bahasa Arab yg telah memberlakukan khusus semisal pada dua kalimat tersebut diatas.

2. MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh MUBHAM/samar. Karena mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi Mukhtash/tertentu adalah dengan dimudhafkan, disifati, atau sebagainya, yg dapat menunjukkan bilangannya atau jenisnya.

Contoh:
قرئ قراءةٌ صحيحة
QURI’A QIROO’ATUN SHOHIIHATU = bacaan yg benar telah dibacakan
Lafazh QIROO’ATUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati yg menunjukkan jenisnya.

ضُرب ضربٌ واحد
DHURIBA DHORBUN WAAHIDUN = satu pukulan telah dipukulkan
Lafazh DHORBUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab disifati yg menunjukkan bilangannya.

جُلس جلوسُ الخائف
JULISA JULUUSUL-KHOO’IF = duduknya orang takut telah didudukkan (duduk gelisah)
Lafazh JULUUSUN mutashorrif dan menjadi mukhtash sebab mudhaf yg menunjukkan jenisnya.

=====

Syarat JAR-MAJRUR yang layak dijadikan Naibul Fa’il adalah huruf JAR MUTASHORRIF, MAJRUR MUKHTASH dan JAR GHAIRU TA’LIL

1. JAR MUTASHORRIF (Dapat berubah-rubah). Yakni, bukan terdiri dari huruf Jar yg khusus men-Jar-kan lafazh tertentu, semisal “MUDZ/MUNDZU” khusus menjarkan pada isim zaman, “RUBBA” khusus menjarkan pada isim nakirah, “HURUF QOSAM” khusus menjarkan pada lafaz sumpah. Dan sebagainya.

2. MAJRUR MUKHTASH (tertentu), yakni bukan terdiri dari lafazh majrur yg MUBHAM/samar. Karena mengakibatkan kalam menjadi tidak mufid, cara agar menjadi Mukhtash/tertentu adalah dengan dimudhafkan, disifati, dimakrifatkan atau sebagainya.

3. JAR GHAIRU TA’LIL (sebab/alasan), yakni bukan terdiri dari huruf Jar yg menunjukkan ta’lil/sebab alasan, semisal “huruf LAM”, “huruf BA'”, “MIN” oleh karenanya menurut jumhur nuhat Maf’ul Liajlih tidak layak dijadikan Naibul Fa’il.

Contoh:
جُلس في المسجد الجامع
JULISA FII AL-MASJIDIL-JAAMI’ = masjid jami’/masjid yg besar diduduki
Lafazh FII huruf jar yg mutashorrif, lafazh AL-MASJIDI mukhtash sebab disifati. JAR-MAJRUR mahal rofa’ sebab Naibul Fail, atau MAJRUR mahal rofa’ dan huruf JAR zaidah.

فُرح بانتصار المسلمين
FURIHA BI INTISHOORI AL-MUSLIMIINA = kemenangan Muslimin digembirakan
Lafazh BI huruf jar yg mutashorrif, lafazh INTISHOORI mukhtash sebab mudhof. JAR-MAJRUR mahal rofa’ sebab Naibul Fail, atau MAJRUR mahal rofa’ dan huruf JAR zaidah.

ولا ينوبُ بعضُ هَذِي إن وُجِدْ في اللفظِ مَفعولٌ بِهِ وقَد يَرِدْ
وباتِّّفاقٍ قَد ينوبُ الثَّانِ مِن بابِ كَسا فيما التِباسُهُ أُمِن
في بابِ ظَنَّ وأَرَى المَنعُ اشتَهَر ولا أرى مَنعَاً إذا القَصدُ ظَهَر
وَمَا سِوَى النَّائِبِ مِمَّا عُلِّقَا بِالْرَّافِعِ النَّصْبُ لَهُ مُحَقَّقاً
۞ Istighol ۞

إِنْ مُضْمَرُ اسْمٍ سَابِقٍ فِعْلاً شَغَلْ ¤ عَنْهُ بِنَصْبِ لَفْظِهِ أَوِ الْمحَلّ

Jika DHAMIR dari ISIM SABIQ (Isim yg mendahului dalam penyebutannya) merepotkan terhadap Fi’ilnya, tentang hal yang menashabkan lafazh Isim Sabik ataupun mahalnya.

فَالسَّابِقَ انْصِبْهُ بِفعْلٍ أُضْمِرَا ¤ حَتْماً مُوَافِقٍ لِمَا قَدْ أُظْهِرَا

Maka: nashabkanlah ISIM SABIK tersebut oleh FI’IL yang wajib disimpan dengan mencocoki terhadap FI’IL yang dizhahirkan.

Definisi ISTIGHOL menurut bahasa adalah: kesibukan.
Definisi ISYTIGHOL menurut istilah nahwu adalah: Mengedepankan Isim (Isim Sabiq) dan mengakhirkan Amilnya (Fi’il atau yg serupa pengamalannya) disibukkan tentang nashabnya Isim Sabiq, sebab Amil tsb sudah beramal pada dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq atau pada Sababnya (lafazh mudhaf pada dhamir Isim Sabiq).

Contoh Isytighal Fi’il/Amil beramal pada Dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq:

زيدا ضربته

ZAIDAN DHOROBTU HU = Zaid, aku memukulnya*

زيدا مررت به

ZAIDAN MARORTU BIHII =Zaid, aku berpapasan dengannya*

* Seandainya Dhamir pada contoh-contoh diatas ditiadakan, niscaya Amil/Fi’il tsb beramal pada Isim Sabik sebagai Maf’ulnya yg dikedepankan, atau Mu’allaqnya yg dikedepankan.

Contoh Istighal Fi’il/Amil beramal pada Sabab Dhamir yg merujuk pada Isim Sabiq:

زيدا ضربت ابنه

ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = Zaid, aku memukul anaknya.

 

 

Rukun-rukun dalam susunan kalimat ISYTIGHAL ada 3:

1. Masyghuulun ‘Anhu (lafazh yg dikedepankan/isim sabik)
2. Masyghuulun (Amil yg diakhirkan, Fi’il atau serupa Fi’il)
3. Masyghuulun Bihi (Dhamir/Sabab Dhamir yg merujuk pd Isim Saabiq)

Apabila terdapat kalimat dengan bentuk susunan rukun-rukun diatas, maka asalnya lafazh yg dikedepankan/isim sabiq tersebut boleh dibaca dua jalan:
1. Rofa’ sebagai Mubtada dan jumlah sesudahnya sebagai Khobarnya. Demikian yg ROJIH karena bebas dari masalah kira-kira/taqdir.
2. Nashob sebagai Maf’ul Bih bagi ‘Amil/Fi’il yg lafazhnya wajib dibuang ditafsiri dari ‘Amil/Fi’il yg lafaznya disebutkan. Demikian yg MARJUH karena butuh terhadap kira-kira/taqdir (disinilah pembahasan ISYTIGHOL).
Fi’il yg terbuang harus ditafsiri dari Fi’il yg tersebut, baik dalam penafsiarannya mencocoki lafaz dan makna, atau mencocoki makna saja, ataupun tidak mencocoki lafaz dan makna tapi mencakup Fi’il yg tersebut. Contoh:

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri mencocoki lafaz dan makna:

زيدا ضربته

ZAIDAN DHOROBTU HU = Zaid, aku memukulnya

Taqdirannya adalah:

ضربت زيدا  ضربته

DHOROBTU ZAIDAN DHOROBTU HU = aku memukul Zaid yakni aku memukulnya

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri mencocoki makna saja:

زيدا مررت به

ZAIDAN MARORTU BI HII = Zaid, aku berpapasan dengannya

Taqdirannya adalah:

جاوزت زيدا  مررت به

JAAWAZTU ZAIDAN MARORTU BI HII = aku lewat bertemu Zaid yakni aku berpapasan dengannya.

Contoh Fi’il yg dibuang ditakdiri tidak mencocoki lafaz dan makna tapi mencakup:

زيدا ضربت ابنه

ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = Zaid, aku memukul anaknya.

Taqdirannya adalah:

أهنت زيدا  ضربت ابنه

AHANTU ZAIDAN DHOROBTU IBNA HU = aku menghinakan Zaid yakni aku memukul anaknya*

* maka dengan demikian jumlah fi’liyah yang ada setelah Isim Sabiq tersebut disebut jumlah tafsiriyah la mahalla lahaa minal I’roob (tidak punya I’rob).

Dijelaskan perihal ISIM SABIQ yaitu: ada yg wajib nashab, rojih nashob, wajib rofa’, rojih rofa, ataupun yg tidak nashob dan rofa’ InsyaAllah akan dijelaskan pada Bait-bait selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar